Masjid An-NUR -- prestasi internasional dari kota kecil Pare

Dulu ketika beberapa kali melewatinya hanya terkesan dengan keindahan struktur bangunan utamanya yang tnampak megah dari pinggir jalan. Namun itu hanya sesaat karena kecepatan laju mobil. Hingga suatu saat sekitar ujung tahun 2020, benar-benar mengunjunginya untuk explorasi lebih detail.

Kesan pertama adalah kekaguman yang mendalam. Suasana luasnya halaman masjid namun berhias pohon-pohon tertata dengan baik. Terasa asri, apalagi hembusan angin pegunungan berhembus sepoi. Dari depan gapura kolom-kolom, pandangan lurus menyeruak ditengah-tengahnya menuju bangunan utama masjid. Sementara menara ramping indah berdiri kokoh mendampinginya.

Itulah Masjid Agung An-Nur, di kota kecamatan Pare, Kediri – Jawa Timur. Masjid kebanggaan kota kecamatan yang sangat maju aktivitas ekonomi, sarana pendidikan, kegiatan sosial dan budayanya. Walau berstatus kecamatan, namun sangat layak disebut kota kecil nan menawan.

Penamaan masjid An-Nur untuk menghormati tokoh dan pejuang muslim tesohor dari Pare yakni Kyai Nurwahid. Mulai dibangun sekitar 1996-an dan sempat dihantam krismon 1997-1998, akhirnya selesai tahun 1999. Dengan biaya yang cukup wah untuk masa itu, 200 milyard, masjid ini berdiri dengan megah dan berkesan mewah. Luas tanah sekitar 4 Ha, dan luas bangunan masjid 400 m2, serta mampu menampung 4000 jamaaah.

Bangunannya terdiri atas halaman depan yang luas dan dibagi dalam 3 sub-halaman bersusun keatas. Dihalaman paling atas juga paling barat, terletak bangunan masjid utamanya. Corak demikian sama seperti kompleks percandian kuno Jawa yang masih diadopsi pura-pura di Bali, atau yang masih terlihat nyata pada kompleks makam para Wali seperti makam Sunan Drajat, Sunan Muria, makam airmata Ibu (Arosbaya, Bangkalan), makam Asta Tinggi (Sumenep). Ini merupakan pakem baku dari sebuah bangunan suci jaman klasik Jawa.

Pintu gerbang halaman utama masjid dibuat terbuka dan hanya disekat beberapa kolom tinggi berhias mahkota biru puncaknya. Suatu ide segar arsitektur modern dalam konsep gerbang utama terbuka. Selain sebagai tempat lampu-lampu halaman, kolom-kolom ini memberi kesan tinggi dan artistik modern. Namun tetap dipadukan dengan konsep klasik Jawa dengan dibuatkan sepasang “gardu” dibelakang kolom yang mengingatkan tempat penjaga keamanan.

Ditengah halaman terdapat sebuah taman sederhana indah. Dahulu taman ini merupakan kolam. Jadi bila dilihat dari jauh ujung halaman, bangunan masjid tererfleksi dengan indah. Apalagi bila dipadukan suasana matahari terbenam (sunset) sore dengan warna oranye kekuning-kuningan. Terasa takjub menikmati keindahan alam dan bangunan masjidnya.

Dari kejauhan pula, nampak bangunan utama masjid bercorak arsitektur tradisional Jawa klasik. Yakni atap yang berbentuk tajuk atau sepintas seperti gunung; sama seperti corak atap masjid-masjid klasik kuno Jawa seperti masjid Demak, masjid Ampel, masjid Kadilangu, dsb. Namun yang membedakan dari semua adalah atap terusannya. Masjid kuno klasik biasaya berbentuk tajuk dan bersusun 3 dengan pola semakin keatas semakin kecil. Sedangkan masjid An-Nur, dari tajuk utama langsung ditutup dengan tajuk lain namun dibuat agak runcing keatas mirip piramida. Dari kejauhan pula, karena bentuknya berbeda dari tajuk utama, terkesan seperti mahkota menjulang tinggi ke langit. Sungguh suatu outdoor arsitektur modern indah namun masih berazaskan tradisi lokal.

Dengan pakem pola bangunan klasik Jawa, atap masjid ditopang oleh 4 soko guru (tiang utama). Namun berbeda dengan konsep soko guru umumnya yg terbuat dari 1 tiang utama besar menjulang tinggi seperti masjid Demak atau masjid Ampel, 1 soko guru masjid An-Nur tersusun atas 4 kolom agak kecil yang masing-masing terikat dan ujungnya atasnya menjadi dasar untuk kerangka tajug utamanya. Kerangka tersebut bersilang keempat penjuru dan menjadi tumpuan tajuk penutup paling atas. Sebuah plafon dipasang namun agak tinggi agar sirkulasi udara lebih leluasa dan dalam bangunan lebih sejuk.

Bagian dalam masjid tampil sederhana dan minim hiasan kaligrafi atau ornamen. Warna juga dominan putih. Konsep ruang dalam berkesan terbuka karena tidak adanya dinding pemisah dengan halaman luar, kecuali sebelah barat sejajar dengan mighrab (tempat imam). Ruangan tanpa dinding penyekat dan minim hiasan jelas mengacu pada konsep bangunan klasik Jawa : Pendopo. Hal ini juga untuk memberi kesan luas dan terang. Dari dalam masjid orang bisa melihat keluar dengan jelas cerahnya matahari dan hijau pepohonan. Semakin membenamkan perasaan ketika khusuk bersembahyang menghadap sang kuasa.

Didalam masjid juga terdapat bedug yang merupakan tanda klasik sebuah masjid. Sekarang sudah hampir tidak pernah dipakai sebagai penanda tiba waktunya sholat. Peyangga bedug terbuat dari kayu jati berukir indah. Berbeda kontras dengan menara masjid diluar yang menjulang tinggi untuk tujuan yang sama.

 

Disamping kiri dan kanan masjid terdapat ruang untuk ber-wudlu. Dari jauh bangunannya dibuat mirip gunung, yakni segitiga bundar bagian bawah dan meruncing keatas.

Perpaduan konsep aristektur yang detail, berorientasi alam, paduan klasik dan modern, bercorak budaya lokal telah mengantarkan Masjid agung An-Nur Pare mendapat penghargaan Juara pertama sayembara internasional untuk katagori Perancangan Asitektur Masjid (termasuk pemanfaatan tehnologi modern dan arsitektur masjid) yang diadakan pemerintah Kerajaan Saudi Arabia 1999. Suatu prestasi internasional yang patut dibanggakan namun dalam kesenyapan gempita kota kecamatan kecil Pare


Sidoarjo, 3 Maret 2021

 

Irsam Soetarto
Foto Trip Organizer


Comments