BOROBUDUR -- Golden tales of the Buddhas, #1

 

SEJARAH & ARKEOLOGI-nya

 Pengunjung candi Borobudur yang pertama kali bukannya seorang pendeta atau ahli sejarah, tapi dia adalah seorang pemberontak. Tahun 1709 atau 1710 Ki Mas Dana bangkit dan melawan penguasa Jawa Tengah namun dia dapat dikalahkan. Sebuah naskah Jawa menggambarkan “banyak pemberontak mati”. sementara itu Ki Mas Dana melarikan diri ke Barabudur. Pangeran Pringgalaya dan pengikutnya membujuknya. Mereka mengepung Borobudur dan kemudian menangkapnya dan seianjutnya dikirim ke Kartasura untuk diserahkan kepada raja”.

Pengunjung berikutnya adalah seorang pengeran tapi nasibnya tidak Iebih baik dari Ki Mas Dana. Tahun 1758 penguasa Yogyakarta menyatakan bahwa para anggota kerajaan yang mengunjungi “gunung dengan seribu arca” akan mati. Pangeran, yang memiliki reputasi pemberontak dan pembangkang, ingin melihat “patung daiam sangkar” yang terkenal tersebut. Ketika dia Nampak sudah tidak mungkin kembali Iagi ke keraton, sang raja mengirimkan beberapa orang untuk membawanya kembali hidup atau mati. Sang Pengeran akhirnya ditangkap, tapi dia muntah darah dan mati.

Tahun 1700-an orang Jawa nampaknya muiai Iupa bahwa Borobudur dibangun oleh para nenek moyangnya. Menurut mereka nama tersebut berarti sebuah bukit yang berisi patung-patung yang banyak jumlahnya. Mereka bahkan tidak mengakui bangunan tersebut dengan menyebut “candi”, yang umumnya berarti bangunan kuno peninggalan pra-Islam. Mungkin mereka menganggapnya sebagai sebuah gundukan tanah (mound) dimana para nenek moyang mereka mendirikan patung-patung yang ditujukan untuk siapa yang tidak mereka ketahui. Masa itu Borobudur tidak Iebih dari sebuah bangunan sakit yang penuh misteri.


 KEBANGKITAN BOROBUDUR

Nasib baik rupanya berpihak kepada para pengunjung abad ke-19. Gubernur Jendral Stamford Thomas Rafles mungkin sedang duduk dirumah dinasnya di Semarang ketika dia diberitahu tentang keberadaan sebuah reruntuhan candi yang terletak dipedalaman Jawa Tengah. Rafles adalah seorang penguasa kolonial pertama yang tertarik dengan peninggaian-peninggaian kuno Jawa. Seorang surveyor militer bernama Collin Mac Kenzie yang memberitahu dia keberadaan peninggalan-peninggalan agama Hindu disamping jalan sebelah timurYogyakarta. Mac Kenzie yang pernah tinggal di India selama 11 tahun, merasa terkejut dan bergairah menemukan patung-patung dewa-dewa yang dikenalinya di pulau yang penduduknya hampir semua beragama islam.

Rafles kemudian membentuk sebuah tim yang diketuai Mac Kenzie untuk memetakan Jawa dan mencatat monumen-monumen kunonya. Dia juga memerintahkan penduduk-penduduk Iokal untuk menyerahkan peninggalan-peninggalan kuno kepadanya. Mungkin ada orang datang ke Semarang pada bulan Januari 1814 dan menyerahkan sebuah patung perunggu atau uang emas. Dia mungkin juga bercerita adanya sebuah reruntuhan besar sebuah monument kuno yang terletak didataran Kedua sebelah utara Yogya. Mac Kenzie saat itu sudah kembali ke lndia, dan Rafles menugaskan H.C. Cornelius, yang dekat dengan Mac Kenzie. Penduduk lokal membawa Coernelius ke reruntuhan besar yang telah lama diabaikan tersebut dan memerlukan 200 orang dalam 2,5 bulan untuk membersihkan dan membakar tanaman-tanaman liar yang menutupi Borobudur.

 
Cornelius membuat banyak gambar tentang Borobudur, 39 diantara masih ada, dan menyerahkan kepada Rafles sebuah laporan yang tidak pemah dipublikasikan. Laporan tersebut tentang penemuan-penemuan arkeologi yang mencengangkan abad ke-19. Meskipun berisi sedikit gambaran dari apa yang kita lihat sekarang ini, Iaporan tersebut merupakan sebuah dokumen sejarah penting, karena itu adalah Iaporan awal tentang monumen keagamaan agama Budha yang kita miliki.

Penemuan hasil seni monumental dipedalaman pulau terpencil di Asia Tenggara tersebut sangat mengejutkan dunia. Penemuan ini berjarak 47 tahun sebelum Henri Mouhaut mendapat perhatian atas peninggalan-peninggalan di Angkor, Kamboja, dan justru penemuan Borobudur itulah yang membuat orang-orang Eropa menyadari tentang kebudayaan tingkat tinggi Asia Tenggara yang telah dimiliki sejak dulu. Sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang muncul sampai sekarang, lebih dari 175 tahun adalah bagaimana dahulu kala para penganut agama Budha mencapai Jawa dari tempat asalnya di India – dengan jarak lebih dari 5.000 km 7? Mengapa justru orang Jawa dan bukannya orang-orang yang mayoritasnya beragama Budha yang mendirikan monumen agama Budha terbesar dan paling indah didunia ??

AGAMA BUDHA DI INDIA DAN SEKITARNYA

Agama Budha berasal dari India lebih dari 1.000 tahun sebelum pendirian Borobudur. Sidharta Gautama, yang selanjutnya dikenal sebagai Budha atau “Orang yang telah Bangkit” dilahirkan dikaki gunung Himalaya sekitar 500 SM. Dia adalah anggota etnis Sakya, sehingga dia sering disebut Sakyamuni yang artinya “permata keluarga Sakya”. Jalan baru untuk keselamatan (salvation) spiritual yang dipercayainya secara perlahan berkembang disepanjang rute perdagangan diseluruh kawasan Asia. Agama Budha menganggap para pedagang sebagai orang yang rela berkorban diri sendiri untuk mengambil jalan panjang dan berbahaya untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Para pedagang dianggap sebagai pahlawan dalam cerita “jataka” dan “avadana”. Mereka merasa dilindungi oleh sejumlah Budha dan Bodhisatwa dan mendirikan banyak patung-patung, prasasti-prasasti, dan bangunan-bangunan keagamaan sepanjang Asia tengah dan timur, dari oasis-oasis terpencil sepanjang Jalur Sutra hingga pusat-pusat kosmopolitan di China dan Jepang. Saat ini agama Budha dan tradisi kuno agama Budha masih berkembang di sebagian besar daerah yang terbentang antara pegunungan Himalaya sampai Jepang sehingga memungkinkan kita untuk menelusuri perkembangan agama Budha yang kompleks dalam kurun waktu itu.

Dari para penganut agama Budha terdahulu muncul 2 pandangan berhubungan dengan jalan keselamatan yang sesungguhnya. Menurut pandangan yang cermat, setiap orang harus mencari jalannya sendiri dalam mencapai pembebasan sejati dari lingkaran kelahiran kembali yang tidak pernah habis. Proses peningkatan Spiritual itu panjang dan berliku (ardous), memerlukan kehidupan pengorbanan yang banyak sekali sebelum seseorang boleh meninggalkan putaran-putaran reinkarnasi dan penderitaan.

Dalam beberapa generasi setelah kematian Sakyamuni, beberapa guru mulai mengajarkan (claim) bahwa proses tersebut dapat dipercepat dengan adanya pengetahuan khusus. Orang dapat mengharapkan untuk mencapai kebahagian (bliss) sejati dengan pertolongan Bodhisatwa-bodhisatwa tertentu atau “makhluk-makhluk yang memperoleh penerangan” atau orang-orang yang telah mencapai tingkat pengetahuan sempurna tapi dengan sukarela terlahir kembali untuk melindungi dan memberi petunjuk mereka-mereka yang masih merana (languish) pada tingkatan-tingkatan bawah dari proses perkembangan spiritualnya. Mereka yang percaya bahwa Bodhisatwa akan membantunya tidak boleh hanya mencari keselamatan individu karena itu berarti egois. Tapi mereka mengajarkan bahwa poin utamanya terletak pada menjadi seorang Bodhisatwa yang rela mengobarkan kebahagiaan pribadinya demi kesejahteraan orang lain.

2 JALAN KESELAMATAN

Ketika agama Budha berkembang di India, Bodhisatwa semakin popular. Muncul naskah-naskah baru, menjelaskan lebih detail lagi tentang para Bodhisatwa tersebut dan mencari hubungannya dengan beberapa Budha. Beberapa penganut mulai membedakan kepercayaan-nya dengan versi sederhana agama Budha, dan menyebutkan jalannya dengan istilah Mahayana, “Jalan Besar” atau “Kendaraan Besar”. Mereka mencela ajaran-ajaran Hinayana “Kendaraan Kecil” karena lebih egois dan individualistis. Meskipun kedua doktrin ini berbeda dalam teorinya tetapi dalam praktek agama Budha terdahulu keduanya dipadukan.

Sebuah versi Budha Mahayana kadang-kadang disebut Budha Esoteris mulai muncul sekitar abad ke-6. Budha jenis ini mengatakan bahwa orang-orang terpilih tertentu dapat memendekkan jalan menuju pencerahan hanya dalam sekali kehidupan dengan menggunakan cara-cara atau tehnik-tehnik yang benar. Ide ini mendapat pengaruh luar biasa dalam seni dan arsitektur agama Budha, karena bangunan-bangunan dapat digunakan (employed) dalam upacara-upacara untuk mempercepat kemajuan spiritual. Doktrin-doktrin ini berkembang dengan cepat pada saat dibukanya jalur India dengan pulau Jawa dan Sumatra. Rute ini menggunakan jalan laut sebagai tandingan jalan darat ke China dan dataran Asia Tenggara yang telah digunakan berabad-abad sebelumnya, dan banyak para pengelana-pengelananya terdahulu adalah para pedagang dan penganut agama Budha.

Selama awal milenium pertama, beberapa bentuk Hindu semakin berpengaruh dilembah Mekong di dataran Asia Tenggara. Kerajaan didaerah ini semakin tergantung pada pertanian daripada perdagangan dan memiliki struktur kelas yang kaku sehingga penekanan Hindu atas status keturunan sangat cocok (congenial) bagi mereka. Agama Budha, dengan pola-pola (attitude) yang lebih kerakyatan (egaliter), hanya menggantikan (supplanted) agama Hindu sebagai agama mayoritas disana pada abad ke-14 ketika Theravada "Doktrin lebih tua" dibawa dari Srilangka. Sebaliknya Sumatra dan Jawa banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Budha Mahayana yang tersebar sepanjang jalur perdagangan laut. Ajaran-ajaran (precept) ini, dengan penekanan-penekanan atas cara-cara dan tehnik-tehnik khusus untuk keselamatan, memotivasi dan membentuk pembuatan bangunan-bangunan seperti candi Borobudur.

PULAU JAWA DAN ORANG JAWA

Secara tehnis dan geografis, pulau Jawa terletak sangat jauh dari tempat tinggal Budha Gautama. Orang Jawa berasal dari orang-orang China Selatan yang mengarungi lautan luas menuju selatan dan timur dataran Asia sekitar 6.000 tahun yang lalu. Beberapa mengarungi kawasan timur dan mendiami pulau-pulau di Pacific, sementara yang lainnya menuju selatan dan barat hingga mencapai Borneo, Jawa dan sekitarnya - dan bahkan melintasi samudra India dan mencapai Madagaskar pada awal milenium. Pelaut Jawa mungkin sudah mengunjungi India sebelum periode Yesus, karena Jawa sudah disebut dalam tulisan epos Ramayana paling awal (300 SM). Pedagang Graeco-Romawi yang mengunjungi India selatan sekitar 100 M sangat terkesan dengan perahu-perahu barang besar dari timur yang membawa lada dan rempah-rempah. Tak diragukan lagi bahwa mereka adalah perahu-perahu Indonesia yang berasal dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan Sumatra.

Jawa adalah pulau tropis dengan panjang sekitar 1.000 km dan lebar terluasnya 200 km. Terdapat rangkaian 20 gunung berapi yang sebagaian besar sangat aktif disepanjang bagian tengah. Selama abad ke-9 sebagian besar Jawa tertutup oleh hutan lebat. Kebanyakan penduduknya - mungkin sekitar kurang sejuta saat itu - tinggal dekat muara-muara sungai.

Sekitar abad ke-5, orang-orang Jawa mulai memahat patung-patung dari batu dan menulis prasasti-prasasti dengan menggunakan corak-corak serta huruf-huruf yang diambil dari beberapa daerah di Asia selatan. Tarumanegara, kerajaan pertama di Jawa, terletak ujung dibagian barat pada abad ke-7. Hingga akhir abad ke-7, pusat kebudayaan berpindah kebagian tengah pulau Jawa, dan menggandeng (incorparating) corak-corak dari beberapa bagian India. Dalam periode yang relatif pendek sekitar 200 tahun, antara tahun 700 - 900, orang Jawa membangun bangunan-bangunan keagamaan dengan mencengangkan. Peninggalan-peninggalan kuno berusia sekitar seribu tahun dibangun saling berdekatan (lie thickly) disepanjang pedalaman Jawa, namun banyak diantaranya yang sudah musnah dalam 2 abad terakhir.

Para ahli sejarah sebeiumnya percaya bahwa Jawa adalah pulau primitive yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan tinggi India melalui penjajahan, perdagangan, penaklukkan, dan migrasi. Bahkan mereka berpendapat bahwa Borobudur dibangun oleh orang-orang India. Setelah melalui penelitian-penelitian dalam beberapa dekade, sekarang mereka baru percaya bahwa orang-orang Jawa kuno bukanlah sukusuku barbar yang dengan gampang menganut pengaruh-pengaruh asing yang lebih tinggi derajatnya (superior). Orang-orang Jawa saat itu sudah memiliki tingkatan kebudayaan yang sudah Cukup mapan sebelum pengaruh-pengaruh tersebut datang. Mereka sudah dapat membuat gerabah, memintal benang, dan mengolah perunggu, besi, serta emas. Mereka juga sudah menanam padi dan tanaman-tanaman lain menggunakan sistim tanah bertingkat dan irigasi. Mereka juga membangun patung-patung, bangunan-bangunan kegamaan dalam bentuk bangunan berundak dan dipuncaki sebuah batu, serta sudah memiliki sistim pemerintahan yang teroganisir dengan baik.

Orang-orang Jawa yang mendesign dan membangun Borobudur tidak begitu saja meng-copy sebuah bangunan asing. Tapi justru mereka menyertakan (blended) unsur-unsur Jawa dengan India dan menciptakan bangunan suci dengan nuansa baru (new kind). Oleh karena itu, dengan mempelajari bagaimana orang-orang Jawa menggunakan motif-motif India dan menggabungkannya dengan unsur-unsur lokal, kita mungkin dapat memahami konsep-konsep filosofi orang Jawa yang sejajar, walaupun tidak identik, dengan konsep-konsep India.

PEDAGANG DAN PENDETA

Para pedagang sepanjang Jalur Sutera memperkenalkan agama Budha di China pada abad ke-1, dan segera agama baru tersebut mendapat tempat disamping agama asli Cina seperti Tao dan Konfuse. Para pendeta Cina melakukan perjalanan yangjauh dan sulit pada abad ke-1 mengumpulkan buku-buku dan mengunjungi tempat-tempat suci dan penting dalam kehidupan Budha Gautama. Beberapa dari mereka yang selamat menghabiskan waktu bertahun-tahun menterjemahkan manuskrip-manuskrip berharga dari bahasa Sansekerta kedalam bahasa Cina.

Jalur laut antara India dan Cina baru dirintis beberapa abad selanjutnya sekitar tahun 400-an. Catatan paling awal dari rute laut ini berasal dari dokumen perjalanan Faxian, serorang pendeta Budha yang bepergian ke India melalui jalur darat untuk mencari catatan-catatan agamis tersebut dan kembali ke Cina menumpang kapal dagang dan singah di Jawa tahun 414. Sekitar 10 tahun kemudian, seorang guru pendeta Budha terkenal, Pangeran Gunavarman dan Kashmir, menghabiskan waktu beberapa tahun di Jawa sebelum melanjutkan Perjalanan menuju Cina. Kedua pendeta Budha paling awal ini membuat catatan tentang perjalanan mereka.

Rute baru kemudian dibuka oleh para pelaut Indonesia yang memang telah memiliki pengalaman perdagangan laut berabad-abad sebelumnya dengan daerah-daerah lain di Asia Tenggara dan India. Pelabuhan-pelabuhan laut baik di Jawa dan Sumatra segera berkembang pesat menjadi pusat-pusat perdagangan yang makmur dan tempat komunikasi intensif antara Cina dan India. Jalur laut ini segera menjadi penting baik bagi orang-orang India dan Cina, khususnya selama periode kelabu disaat rute Jalur Sutera lewat darat banyak diganggu oleh suku-suku barbar dan nomaden.

KE ASIA TENGGARA LEWAT LAUT

Perjalanan para pendeta Budha ke Indonesia semakin meningkat dalam kurun waktu abad ke-7 dan ke-8. Catatan yang ada mengatakan bahwa pulau Jawa dan Sumatra adalah pusat-pusat pendidikan 7 agama Budha kala itu dan secara mengejutkan mampu memberikan gambaran jelas tentang kegiatan agama Budha.

Yi Jing, seorang pendeta Cina yang mengunjungi Indonesia abad ke-7, meninggalkan sejumlah catatan-catatan cukup detail tentang kegiatan agama Budha disejumlah negara. Dalam bulan Desember 671 M, dia berlayar dari Cina menuju Sriwijaya di Sumatra selatan, dan menghabiskan waktu 6 bulan guna mempelajari bahasa Sansekerta. Kemudian dia menumpang perahu milik raja Sriwijaya menuju India, dimana dia menghabiskan waktu sekitar 15 tahun dalam mempelajari agama Budha dan mengumpulkan catatan-catatan (scriptures) Budha. Dia kembali lagi ke Sriwijaya sekitar tahun 686 dan tinggal disana selama kurang lebih 5 tahun sebelum kembali ke Cina.

Yi Jing sangat terkesan dengan kondisi perkembangan pesat agama Budha di Sriwijaya kala itu, dengan adanya komunitas besar pendeta Budha dan standard tinggi pendidikan agama Budha yang diajarkan -- begitu banyak untuknya sehingga dia mendesak para peziarah agama Budha menghabiskan waktu lebih lama di Sriwijaya untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Sansekertanya sebelum melanjutkan perjalanan menuju India. Diajuga melihat para penganut agama Budha di Sumatra memiliki beberapa keunikan. Jatakamala atau “Cerita tentang kelahiran kembali” diceritakan dan diucapkan dengan keras, dan para pemuja memuja naga-naga (Dewa Naga) dan dewa-dewa lain selama upacara.

Yi Jing mendorong peziarah-peziarah Cina lainnya untuk belajar di Indonesia. Disamping bahasa Sansekerta, mereka juga mempelajari bahasa-bahasa khusus lainnya. Beberapa peziarah merasa senang dengan kehidupan disana sehingga memutuskan untuk menetapi disana. Minimal seorang murid Yi Jing merasa mendapat kedamaian disana dan menikah dengan seorang wanita setempat, dan menjadi generasi pertama para emigran Cina di Indonesia.

Indonesia juga menarik perhatian para ahli agama Budha dari India. Yi Jing melaporkan bahwa para pendeta dari Sichuan dan Tonkin khusus dating ke Jawa untuk belajar dibawah bimbingan seorang guru India. Salah satu pemikir agama Budha terbesar abad ke-8, Vajrabodhi, lahir di Kanci – India selatan sekitar 670 M. Dia belajar dan bahkan mungkin merivisi 2 buku Mahavairocana dan Vajrasekhara, dimana keduanya menjadi kitab sangat penting di Jawa. Vajrabodhi muda memperoleh petunjuk spiritual untuk melebarkan ajaran ini ke Cina. Dia berlayar ke Sumatra tahun 717 dan kemudian ke Jawa. Tahun 718 dia dilaporkan masih di Jawa ketika bertemu dengan seorang pendeta muda bernama Amoghavajra yang datang ke Jawa dalam perjalanan dagang dengan pamannya. Amoghavajra menjadi murid terkasih Vajrabodhi dan menemaninya pergi ke Cina.

Mereka tinggal di Cina hingga Vajrabodhi meninggal tahun 741. Amoghavajra kemudian kembali ke Jawa dimana dia mengumpulkan buku-buku baru dan membawanya kembali ke Cina untuk diterjemahkan dalam bahasa Cina. Amoghavajra mendapat banyak murid di Cina, salah satunya Huiguo (746-805) yang meneruskan ajarannya. Diantara murid-murid Huiguo adalah seorang Jawa yang dikenal sebagai Bianhung dan seorang Jepang, Kobo Daishi, yang selanjut-nya mendirikan sekte Budha Shingon atau “Ajaran Asli (True Word)” di Jepang. Para ahli setuju bahwa Shingon dan agama Budha Jawa kuno berkaitan erat. Akibatnya patung-patung Indonesia dan Shingon memiliki banyak kemiripan.

Sebagian karena hasil kontak-kontak budaya yang digerakkan oleh para pendeta seperti diatas, agama Budha mendapat popularitas yang sangat cepat di Jawa Tengah walaupun dalam periode yang pendek. Semua candi-candi Budha disana, termasuk Borobudur, dibangun dalam kurun waktu seabad bergantian dengan candi-candi yang lain, antara 750 -- 850 M. Agama Budha tetapi menjadi agama resmi di Sumatra dalam periode yang lebih lama. Tahun

Seorang India Bernama Atisa yang telah mendapat cukup pengetahuan di India th. 1013 melakukan perjalanan ke Sriwijaya untuk belajar kepada seorang guru terkenal. Atisa tinggal di Sriwijaya selama 20 tahun, dan tahun 1038 pada usia 56, dia diundang ke Tibet dan dikenal sebagai Dipankara Srijnana, dan sangat berperan dalam membangun kembali agama Budha Tibet sebelum dia meninggal tahun 1054. Sebuah tulisan di Tibet dan dikenal dengan “Sarva Durganti Pan'sodhana" (Penghapusan Semua Halangan Kelahiran Kembali) sangat berbeda dengan tuisan-tulisan Tibet pada umumnya. Minimal seorang ahli percaya bahwa tulisan tersebut berasal dari Sriwijaya. Bahkan sampai hari ini praktek-praktek agama Budha di Tibet melukiskan kepercayaan-kepercayaan dan ajaran-ajaran kuno Indonesia.

AGAMA BUDHA DI JAWA

Perkembangan agama Budha tidak berada dalam situasi tenang dan stabil pada periode abad ke-8 dan ke-9 ketika candi Borobudur didirikan. Justru sebaliknya, ini adalah masa peningkatan intelektual yang pesat. Para pemeluk agama Budha menauruh harapan sangat besar terhadap agama mereka, dan para folisof yang mempraktekkan teori-teori dan metode-metode baru keagamaan mendapat status tinggi. Masing-masing guru dan negara dimana bentuk-bentuk baru agama Budha berkembang juga ikut mengembangkan penafsiran-penafsiran baru. Bangsa Indonesia juga ikut menyumbangkan konsep-konsep mereka sendiri dalam ikut membantu mengembangkan penafsiran-penafsiran tersebut dari India, tapi sayang hanya sedikit manuskrip yang tersisa sehingga kita bisa mengetahui dengan lebih gamblang.

Kuncinya, oleh karena itu, kebanyakan berasal dari penalaran buku-buku dan praktek-praktek diluar Indonesia saat ini. Banyak para penganut agama Budha Esoterik menggunakan praktek-praktek yang selanjutnya diklasifikasikan dalam Tantra atau “petunjuk-petunjuk” manual. Praktek-praktek tantra juga sudah ada sebelum candi Borobudur didirikan. Upacara-upacara yang melibatkan minum keras, pesta, tarian di kuburan (dancing on creamation ground), dan ritual bercinta sangat sering dilaksanakan disini, khususnya selama abad ke-14 di Jawa Timur dan Sumatra. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa Borobodur tidak dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan tantra karena panel-panel reliefnya tidak menunjukkan gambar-gambar upacara erotis dan dewa-dewa menakutkan, dan justru Kenyataannya tantra tersebut ada banyak macamnya, tantra-tantra periode awal sering lebih lembut. Beberapa aSpek Borobudur, seperti penempatan 6 bentuk patung Budha, jelas menunjukkan bahwa para pembuatnya mengikuti sejumlah persepsi-persepsi tantra baik yang sesuai standard bakunya atau tidak.


CIRI-CIRI BUDHA TANTRA

Tantra mengandung ajaran mengikuti petunjuk-petunjuk praktek bagaimana menyelesaikan sebuah tugas khusus. Ajaran ini berkembang di India dari kepercayaan pada hal-hal magis dan mantra-mantra yang bahkan lebih tua dari agama Budha itu sendiri. Ada banyak macamnya saat itu, tapi intinya adalah bagaimana caranya agar mencapai kebebasan spiritual dengan cepat dan memiliki kekuatan fisik dengan minum obat-obatan, mengadakan persembahan-persembahan, serta melakukan latihan-latihan mental dan spiritual. Praktek-praktek Yoga mulai muncul dalam beberapa sekte Mahayana pada abad ke-4. Prasasti-prasati dari Sumatra pada akhir abad ke-7 telah mengacu pada Sidhayafra atau “ziarah ke tempat-tempat sakral untuk mengadakan upacara agar memperoleh keberhasilan”. Hingga akhir abad ke-9, Vajrayana (Jalan Halilintar) yang menjanjikan kebebasan instan melalui Praktek-praktek Tantra segera mendapat tempat dihati orang Jawa saat itu.

Salah satu ciri dasar ajaran tantra adalah perhatian yang ditujukan untuk tubuh. Sekte-sekte yang lebih mendalam dalam agama Budha menganggap tubuh tidaklebih dari sebuah ilusi dan jalan keluar (hidrance). Tantra melihat tubuh dalam pandangan yang lebih rasional dengan menganggapnya sebagai refleksi kedewaan dan mengatakan bahwa pikiran dan tubuh adalah tak terpisahkan serta merupakan aspek-aspek berbeda atas realita suatu kesatuan. Dalam bentuk yang lebih umum, tantra berpendapat bahwa semua kekuatan-kekuatan luar sangat berkaitan erat dan keselarasan akan dapat diperoleh dengan pengga-bungan semua itu. Oleh karena itu, tantra menyarankan bahwa tubuh harus diberdayakan untuk mencapai kebebasan. Ketika Budha Esoteris berkembang pada abad ke-7 - 10, petunjuk-petunjuk praktis (manuals) menjadi lebih rumit dan penggunaannya semakin diperketat. Banyak doktrin-doktrin yang berasal dari Vajrayana dianggap rahasia untuk orang-orang yang tidak seharusnya dan hanya diperbolehkan (divulged) bagi mereka-mereka yang memiliki guru yang dianggap sesuai.

Ketika semakin banyak penggabungan ajaran-ajaran Tantra, para guru membaginya menjadi 4 katagori. 2 bagian terbawah adalah untuk orang-orang yang masih memerlukan patung-patung dan dewa-dewa karena mereka tidak dapat berhubungan tanpa bantuan. Seorang guru akan menyediakan seorang dewa khusus untuk orang-orang tersebut - dewa yang lebih lembut orang orang yang lemah fisiknya, dewa yang brutal dan bahkan menaktukan untuk pribadi yang lebih kuat, melalui ciri-ciri dewa yang sesuai dengan kualitasnya sehingga dapat membantu pemuja berusaha untuk menaklukkannya. Tingkatan ke-3 dan ke-4 ditujukan untuk orang-orang yang sudah tidak memerlukan bantuan lagi untuk berhubungan dengan dewanya. Struktur Borobudur nampaknya sesuai dengan katagori ini karena bagian bawah memiliki ilustrsi-ilustrasi visual yang jelas sedangkan bagian atas jauh lebih abstrak.

RAJA-RAJA JAWA KUNO

Agama Budha sedikit kurang populer dibandingkan agama Hindu di masa Jawa kuno. Arca-arca dan candi-candi kuno didirikan untuk memuja dewa Siwa dan Wisnu. Epos Ramayana dan Mahabarata sangat popular dan tetapi begitu hingga sekarang ini. Raja-raja terkenal mampu memanggil dewa-dewa ini untuk memberi berkah bagi kesuburan tanah dan mengalahkan musuh-musuhnya. Tetapi, agama Budha memiliki pola-pola ke-raja-an lebih kuat dan kedua agama tersebut berkaitan erat dengan 2 keluarga elit masyarakat Jawa selama periode Borobudur, yakni Sanjaya dan Syailendra. Arti kata “keluarga" dalam Jawa kuno harus dijelaskan lebih dalam.

Orang Jawa merasa tidak perlu menggunakan nama keluarga, dan masyarakat Jawa tidak terikat terhadap konsep turun temurun (inheritance) dan berasal dari satu garis keturunan., seperti misalnya antara bapak dan anak laki-laki. Justru orang Jawa meneruskan garis keturunannya melalui sisi laki-laki dan wanitanya.

Agama Budha di Indonesia berkaitan erat dengan pengaruh sebuah keluarga yang disebut “Syailendra" atau Pengusa Gunung. Gelar ini jelas menunjukkan bahwa keluarga tersebut berhubungan erat dengan kekuatan supranatural yang oleh orang Jawa dipercaya berkedudukan disekitar puncak gunung. Sekarang sangat sulit menelusuri kembali kaitan pengaruh politik keluarga Syailendra dari Jawa Tengah hingga sejauh Sumatra dan dataran Malaysia, tapi mereka jelas melibatkan orang banyak yang sedikit banyak terkait dengannya dari pada sebuah keluarga kecil.

Keluarga Syailendra mendominasi pengaruh politik di Jawa Tengah sekitar tahun 780-an, ketika mereka kemudian digantikan oleh keluarga lain yang disebut Sanjaya. Sanjaya sesungguhnya merupakan kelompok elit yang memuja agama Hindu dan sangat berpengaruh sejak minimal tahun 732-an, dan berdasarkan sebuah prasasti tertua dari sebuah kerajaan yang ada di Jawa Tengah, dimana Sanjaya merupakan rajanya. Prasasti tersebut ditemukan di gunung Wukir, terletak sekitar 10 km sebelah tenggara candi Borobudur.

Persaingan antara anggota keluarga Saylendra dan Sanjaya mungkin berkembang dari persaingan politik, tapi tidak masuk dalam lingkup keagamaan. Agama tidak pernah menjadi sumber konflik bagi orang Jawa. Kedua keluarga besar itu kemudian kawin dan keturunannya kemudian loyal terhadap baik dinasti Saylendra maupun Sanjaya. Pilihan mereka dituangkan dalam Kerjasama bidang politik dan sosial, dan bukan pemujaan atas sebuah keluarga tunggal berdasarkan garis keturunan.

KEBANGKITAN KELUARGA SANJAYA

Ratu Syailendra, Sri Kahulunan, tahun 832 kawin dengan seorang keturunan dinasti Sanjaya bernama Rakai Pikatan. Pikatan membangun beberapa bangunan suci agama Budha, termasuk candi Plaosan yang indah, tapi dia menyumbangkan dan memberikan seluruh kemampuan-nya terhadap pembangunan kompleks candi Hindu yang mencengangkan dan sekarang di sebut Loro Jonggrang. Masa pemerintahan Pikatan tidak dalam suasana tenang. Beberapa prasasti dan legenda mengatakan adanya permusuhan dengan seorang pangeran dari keluarga Syailendra bernama Balaputradewa yang berambisi menjadi penguasa alam raya. Sang pangeran dapat dikalahkan dan melarikan diri ke Sumatera. Setelah tahun 850, Sanjaya adalah penguasa tunggal di Jawa, dan tanpa bantuan keluarga dinasti Sanjaya maka tidak ada lagi bangunan-bangunan suci yang didirikan.

Di sisi lain kebudayaan Jawa Tengah juga semakin memudar. Tidak lagi ditemukan inskripsioinskripsi setelah tahun 928, juga candi-candi baik Hindu maupun Budha di sekitar dataran Kedu saat itu. Kita tidak tahu Mengapa kebudayaan yang begitu tinggi di Jawa Tengah tiba-tiba musnah. Catatan yang ada selanjutnya mengatakan adanya 'petaka'. Mungkin sebuah gunung yang tibaotiba meletus dan menghancurkan istananya, atau keluarga Syailendra balas dendam dengan menyerang secara tiba-tiba dari Sumatera. Kemungkinan-kemungkinan yang lain adalah wabah dan banjir besar. Tapi kebenarannya tetapi belum diketahui. Selanjutnya muncul kerajaan lain di bagian timur pulau Jawa, namun tidak pernah membangun bangunan suci keagamaan yang setara kebesarannya dengan yang ada di Jawa Tengah selama abad ke-9.

PEMBANGUNAN CANDI BOROBUDUR

Karena tidak adanya informasi-informasi tentang Borobudur yang ada pada kita, kita harus memecahkan masalah ini dari sudut kebudayaan Jawa Tengah dari sisi yang berbeda. Bagaimana keadaan ekonomi dan politis yang terjadi bagi penduduk kebanyakan sekitar tahun 800 M ? Apa yang kita ketahui tentang ke-raja-an Java seperti Samaratungga dan Sri Kahulunan.

Ternyata, Borobudur lebih dapat memberikan gambaran tentang Jawa kuno dari pada sejarah Jawa kuno terhadap Borobudur itu sendiri. Candi itu sendiri dibangun atas lebih dari 1 juta bongkahan batu yang diangkat ke puncak bukti dari dasar sungai terdekat, dan kemudian dipotong-potong dan diukir dengan seni yang tinggi. Hal itu saja sudah menunjukkan hal khusus karena menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa tahun 800 M mampu memiliki surplus untuk menopang kegiatan besar tersebut tanpa memberikan keuntungan ekonomis langsung kepada mereka. Orang Jawa kala itu pasti memiliki sumber daya (manpower) - tenaga kerja - luar biasa untuk mengolah batu-batu tersebut, ahli ukir berpengalaman, pertanian yang berlimpah untuk mendukung makanan kepada para perkerja, dan institusi yang terorganisir dengan baik untuk mengkoordinasikan proyek ambisius dan besar seperti itu. Diatas itu semua, penting untuk dikemukakan bahwa mereka memilih untuk mengabdikan sebagian besar kemampuan dirinya untuk membangun monument yang, mungkin memiliki beberapa tujuan, pada dasarnya merupakan “bantuan nyata” (visual aid) untuk menjabarkan filosofi agung tentang kehidupan. Jelas ini menggambarkan kwalitas orang Jawa kuno sebagai salah satu masyarakat paling sosial dimuka bumi ini.

Tak ada satu kerajaan atau kota- kota kuno yang ditemukan di Jawa Tengah yang dapat membawa para ahli sejarah untuk percaya bahwa orang-orang Jawa saat itu tinggal didesa-desa yang ukurannya kira-kira hampir sama, dan kebanyakan dari mereka adalah petani. Dataran Kedu yang subur dan memiliki air berlimpah pasti mampu mendukung segala aktivitas penduduk dalam bertani disekitar Borobudur, dan mungkin itu menjadi salah satu pilihan bagi para pembangun candi Borobudur terhadap kawasan ini. Bangunan suci agama Budha umumnya meIi-batkan vihara dimana sebagai tempat tinggal para biksu yang tergantung dari pada bantuan makanan oleh penduduk disekitarnya, Bukti-bukti arkeologis menunjukkan adanya jumlah masyarakat maupun para ahli yang banyak tinggal disekitar candi Borobudur.

DARI DASAR SUNGAI KE PUNCAK BUKIT

Sulit untuk menghitung berapa yang diperlukan orang Jawa kala itu untuk membangun Borobudur dalam aspek tenaga kerja dan tambahan materialnya. Batu-batu sangat bertaburan dan tidak perlu dibawa terlalu jauh. Para pekerja mungkin menggunakan kereta kayu yang ditarik oleh kerbau untuk mengangkat batu-batu dari dasar sungai disekitarnya hingga ke tempat kerja, yang kemudian diukir dengan alat pahat dan palu dari besi. Jadi sumber utamanya adalah tenaga kerja dan makanan (logistik).

Pembangunan candi Borobudur kira-kira dimulai sekitar tahun 760 M dan selesai sekitar 830 M. Ritme kerjanya mungkin juga tidak selalu sama selama 70 tahun periode pembangunan ini, tapi berkelanjutan. Ada masanya banyak perkerja yang terlibat namun juga kadangkadang sedikit orang, dan nampaknya ada juga aktivitas yang terhenti sama sekali dalam suatu kurun tertentu. Minimal salah satu bagian candi yang pernah runtuh selama pendiriannya. Mungkin juga bagian lain yang mengalami penundaan, yang kita tidak tahu sama sekali. Rencana dasarnya nampak sederhana dan tidak membutuhkan tenaga kerja banyak, tapi ternyata rencana Borobudur sering berubah dan setiap design baru membutuhkan kerja lebih.

Tenaga kerja tak berpengalaman/kasar merupakan perkerja tahap-tahap awal pembangunan, seperti mengangkat (hauling) batu-batu, meratakan tanah untuk dasarnya, meratakan tanah miring (terracing) bukitnya. Batu-batu candi masing-masing berukuran berat sekitar 100 kg. Jika seseorang dengan sebuah kereta dapat mengangkat 1 batu dalam sehari, maka akan membutuhkan 100 orang setiap hari dalam kurun waktu 30 tahun untuk mengangkat sekitar 1 juta bongkahan batu ketempat yang dituju. Mungkin dibutuhkan 100 orang lagi untuk mengangkat menaikan dan menurunkan batu dari kereta tersebut dan mengukirnya (hew) hingga berbentuk empat persegi panjang. Jika, dan sangat mungkin, pekerja-pekerja tersebut berkeja hanya setengah tahun saja, maka diperlukan kurang lebih 200 orang.

Orang-orang yang diperlukan untuk mengukir batu dan relief lebih sulit lagi untuk dihitung. Seorang ahli ukir modern mungkin akan membutuhkan waktu sebulan untuk menyelesaikan sebuah patung Budha besar. Maka sekumpulan 10 orang ahli ukir, yang bekerja bersama-sama, akan dapat menyelesaikan semua arca-arca Budha di Borobudur dalam kurun waktu 5 tahun. Pekerjaan mengukir terhadap panel-panel relief mungkin dibagi dalam beberapa kelompok ahli ukir. Ketua Kelompok (the master) pengukir akan pertama-tama memberikan sketsa dulu dari pola yang akan dikerjakan, selanjutnya anggota kelompoknya akan menyelesaikannya. Ketua Kelompok akan kembali lagi nantinya untuk menyelesaikan bagian finishingnya.

Sayangnya bagian akhir konstruksi sudah tidak dapat lagi dilihat. Batu-batu Yang kita lihat sekarang ini pada waktu mengunjungi candi Borobudur tidak seharusnya terlihat, karena keseluruhan bangunan sesungguhnya ditutup oleh lapisan plester putih (plamir) dan kemudian dicat. Untuk plamir tersebut pasti memerlukan keahlian khusus, karena setiap bagian yang haluspun akan dikenakannya. Maka candi Borobudur nampak bukan berwarna abu-abu seperti sekarang, tetapi berwarna-warni yang muncul diatas lautan warna hijau sawah dan pohon-pohon kelapa. Perkiraan ini kira-kira memerlukan waktu sekitar 30 tahun dengan model kerja paksa beberapa ratus orang bekerja setiap harinya.

Pada kenyataan-nya, ritme kerja tidak selalu fluktuatif tergantung putaran waktu pertanian, dan kira-kira membutuhkan waktu kerja sekitar 60 tahun atau lebih. Pembangunan candi Borobudur sesungguhnya tugas luar biasa, dan penyelesaiannya bagi orang Jawa sungguh mengagumkan, khususnya jika kita juga mempertimbangkan adanya pembangunan candi-candi yang lain pada kurun waktu yang hampir bersamaan. Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa menguras banyak pajak masyarakat dan menyebabkan keruntuhan kebudayaan Jawa Tengah. tapi nampaknya tidak demikian. Para kebanyakan pekerja adalah petani dan juga para ahli yang bekerja “sambilan” yang ikut menyumbangkan keahliannya untuk mendapatkan berkah (merit) keagamaan. Bukti-bukti dari candi-candi lainjuga mengatakan bahwa pada candi Borobudur mereka bekerja secara team work, masing-masing desa menyumbangkan sekelompok orang yang memiliki bidang tertentu didalam kerangka kerja secara keseluruhan. Borobudur bukan mencengangkan dari sudut pandang ukurannya, tapi menunjukkan berapa besar kemampuan (portion) orang Jawa dalam memiliki keahlian kreativitas. Keadaan ini dpat dibandingkan dengan orang-orang Balisekarang ini, dimana hampir setiap orang Bali adalah juga artis-artis (ahli seni) part-time.

Sekarang siapa yang mengontrol proyek tersebut ? Penguasa keagamaan dan arsitektur mungkin mengomandani kegiatan sehari-hari, tapi dukungan psikologi dan metarial tentu dari sang penguasa/raja itu sendiri. Bahkan jika Borobudur didirikan dengan motivasi paling dasar dari sudut motovasi keagamaan, proyek raksasa tersebut pasti tidak dapat dihindarkan dari masalah pengaruh politis. Di India dan Cina, pendirian stupa kadang-kadang diilhami oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Raja Asoka di India diduga telah membangun 84.000 stupa diseluruh India sebagai Tindakan ibadahnya (act of merit), tapi juga sebagai simbol-simbol territorial kekuasaannya. Puncak stupanya yang cemerlang sering dikonotasikan sebagai “paku” yang keberadaan fisiknya dianggap mampu melindungi daerah kekuasaannya stabil dan sejahtera. Di 2 lingkup kerajaan modern Jawa sekarang ini masih menggunakan kata “paku bumi" dalam gelarnya - Paku Alam di Yogyakarta dan Paku Buwana di Solo. Kata “Paku” jelas memiliki makna arti dalam. Legenda yang ada juga menyatakan bahwa sebuah bukit kecil beberapa kilometer disebelah utara Borobudur sebagai “Paku Dunia” (bukit Tidar) meskipun tidak diketemukan peninggalan-peninggalan arkeologis disana. Sangat mungkin disamping fungsinya yang beraneka ragam, Borobudur juga berperan sebagai symbol kekuasaan politis sang penguasa itu sendiri.

TERTIDUR SERIBU TAHUN

Meskipun kebudayaan kerajaan Jawa Tengah telah musnah setelah tahun 928, Borobudur tidaklah dilupakan begitu saja. Disekitar candi Borobudur banyak ditemukan keramik-keramik dan koin-koin China dari abad ke-10 sampai ke-15, dan sebuah puisi Jawa abad ke-14 mengatakan bahwa masih banyak orang yang mengunjunginya, walaupun bangunannya tidak dirawat dengan baik. Apakah Borobudur tenggelam dikelam malam atau apakah Borobudur semakin memudar seiring bertambahnya tahun, dengan semakin sedikit para peziarah yang perlu dibimbing oleh para biksu melalui galeri-galerinya Ketika berkunjung ke Borobudur ?

Orang Jawa tidak melupakan Borobudur, tapi kegunaan aslinya sudah berubah bagi mereka. Disamping sebagai sebuah monumen keagamaan agama Budha, tempatnya menjadi sebuah bukit yang strategis bagi para pemberontak untuk bertahan. Tidak ada bukti bahwa orang masih menganggapnya sebagai sebuah tempat supra-natural tingkat tinggi. Kasus penangkapan Ki Mas Dana tahun 1709 atao 1710 hanya menyebutkannya sebagai sebuah gunung dan bukannya monumen keagamaan, tapi hasrat (desire) seorang pangeran Yogyakarta untuk melihat “tentara yang terkungkung - warn'ors in cage” tahun 1758 membuktikan bahwa patung-patung Budha tersebut masih terlihat. Hal-hal takhayul kuno sekitar Borobudur berkutat pada kepecayaan bahwa pada salah satu patungnya pada tingkatan tertinggi dapat memberikan berkah bagi Siapa saja yang tangannya cukup panjang untuk menyentuhnya.

Hingga tahun 1850, hanya 4 dekade setelah Borobudur ditemukan dari alam gelap, orang Jawa sekali lagi akan upacara-upacara disana. Mereka membakar dupa-dupa dan kan sesajen terdiri dari bunga-bunga kepada para Budha ditingkatan paling atas dan “Unfinished Budha” yang terletak didalam stupa utama dan paling besar. Mereka juga memercikkan (daubed) patung-patung tersebut dengan tepung beras yang selanjutnya oleh para wanita muda secara tradisional dikenakan diwajahnya supaya nampak menarik.

Mereka kadang-kadang meminta semacam jimat (boons), guna melindunginya dari penyakit, merengkuh berkah setelah perkawinan, atau keperluan-keperluan rumah tangga (domestic occasions) lainnya. Patung yang paling popular adalah yang berada pada tepat sebelah kanan setelah memasuki tingkatan bundar dari sisi timur, yang disebut “Mbah Bimo”, putra ke-2 dari keluarga Pandawa dari epos Mahabarata. Wanita-wanita yang belum mempunyai keturunan (childless woman) berusaha menggapai Budha dengan jari-jarinya yang sedang duduk bersila dengan damai di “kurungannya” atau kadang-kadang bermalam di tingkatan tersebut atau diteras didekatnya agar mendapat berkah Mbah Bimo.

HAMPIR HILANG

Laporan pertama tentang Borobudur menyebutkan adanya pohon-pohon dari candi tersebut dan galeri-galerinya sebagian ditutup kotoran, tapi bangunannya tidak seluruhnya tertutup oleh debu gunung berapi seperti sering dilaporkan demikian. Ekskavasi tahun 1814 oleh Cornelius hanya menambah keparahan kondisinya, dan relief-relief terakhirnya ditemukan lagi baru sekitar awal tahun 1870-an. Ironisnya, tanah yang menutupi sebagaian besar Borobudur, tidak mengurangi keindahannya, bahkan juga ikut membantu dari kerusakan lebih lanjut. Ketika batu-batunya terkena langsung sinar matahari dan hujan, maka segera saja batu-batu tersebut tertutup kerak, jamur, dan lintah. Akar-akar tanaman tersebut kemudian menerobos permukaannya, pelan-pelan memudarkan gambar-gambarnya, dan zat-zat asam yang tercipta ketika tumbuhan itu membusuk meretakkan batu-batuannya. Meskipun tanaman-tanaman tersebut sekarang sudah dibuang, lubang-lubang dan jejak-jejaknya meninggalkan bekas. Nampak adanya spot-spot putih sebagai hasil dari cipratan-cipratan air dari bukit bagian bawah dan menguap diterik matahari, meninggalkan timbunan karbonat dan silica.

Borobudur bukannya tumpukan batu tunggal tapi merupakan susunan bata-batu 2 hingga 4 meter tebalnya diatas sebuah bukit dan terletak diatas sebuah dasaran/teras tanah buatan yang diambil dari tanah dibawahnya. Tanah dibawah susunan batu-batu tersebut kurang keras, sehingga air dapat menetes kebawah dan membawa partikel-partikel tanah kecil. Tanah yang pernah menutupi galeri-galerinya selama berabad-abad membantu kerusakan dindingnya. Ketika dibersihkan, galeri-galeri tersebut mulai nampak miring (lean) dan ambles (sang) karena pondasinya yang lemah. Bangunan tersebut dengan cepat menjadi rusak segera setelah ditemukan, tapi pemerintah colonial segera bereaksi. Tahun 1844 mereka membuat sebuah “rumah santai untuk minum teh” tepat diatas reruntuhan tersebut. Proposal pertama untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari candi Borobudur dibuat tahun 1882 dan diilhami oleh pendapat agar bangunan tersebut dibongkar seluruhnya dan menyimpan relief-reliefnya disebuah museum. Untung saja ide ini tidakjadi dilaksanakan. Kemudian pemerintah kolonial memberikan perhatian serius terhadap kondisi Borobudur tahun 1883, tapi masih belum memiliki alasan tepat untuk tindakan nyatanya. Tahun 1896 raja Chulalongkorn dari Siam mengunjungi Jawa dan mohon diijinkan untuk membawa 8 kereta penuh dengan benda-benda dari candi Borobudur. Barang-barang tersebut termasuk 30 buah panel relief, 5 patung Budha, 2 singa, 1 gargoyle, beberapa bentuk kala dari tangga dan punti masuk, dan sebuah patung Dwarapala besar dari Bukit Dagi - sebuah bukit beberapa ratus meter sebelah barat laut candi Borobudur. Beberapa artifak ini, kecuali (notably) singa-singa dan Dwarapala, sekarang sudah disimpan di Museum Nasional Bangkok.

RESTORASI VAN ERP

Perbaikan resmi (Official indifference) atas nasib Borobudur baru dimulai awal abad ke-20. Dibentuk sebuah komite tahun 1900-an untuk membuat perkiraan penyelamatan Borobudur, dan melaporkan hasilnya tahun 1902, Salah satu anggota komite tersebut adalah seorang letnan dua bidang mesin tak terkenal usia 28 tahun bernama Theodore van Erp. Ketika pemerintah menyetujui penyelamatan tersebut, van Erp diangkat sebagai ketua proyek tersebut dan terbukti merupakan pilihan tepat.

Rencana komite sangat baik dan hanya bermaksud melindungi Borobudur dari kerusakan lebih parah. Kemudian dibuat sebuah proposal radikal dengan menempatkan sebuah cungkup piramid besar terbuat dari besi menutupi seluruh bangunan dan didukung oleh 400 pilar metal, untungnya ditolak. Kemudian diputuskan batu-batu yang dalam kondisi akan runtuh untuk dperbaiki, langkan pertama diperbaiki, beberapa pintu gerbang, rumah Budha (niche), dan stupa direnovasi. Masalah utama, yaitu sistim drainase, diratakan dengan memperbaiki lantai-lantai serta saluran-saluran airnya. Batu-batu yang berserakan dikumpulkan kembali untuk disortir.

Van Erp mulai bekerja tahun 1907, dan menghabiskan 7 bulan pertamanya dengan membersihkan dataran disekitar kaki candi. Disana dia mendapatkan gargoyle, kepalaokepala Budha, singa-singa, dan bagian-bagian ukiran dalam sebuah tanah sedalam 1,3 meter. Meskipun tujuan utama van Erp hanyalah untuk menjaga keberadaan bangunan tersebut, tapi dia menemukan begitu banyak batu-batu yang hilang - baik disekitar candi maupun desa sekitarnya - sehingga tahun 1908 dia mengajukan proposal untuk meningkatkan restorasi tersebut terhadap semua dinding langkan, niche, tingkatan bagian bawah, pintu-pintu, dan 72 stupa dibagian paling atas. Proposal ini kemudian disetujui dan van Erp menyelesaikannya 3 tahun kemudian.

Van Erp tidak membongar seluruh candi tapi hanya mencoba menyelamatkan masalah dinding yang runtuh dan memperbaiki lantai dengan menutupinya dengan semen. Dia juga membangun kembali teras-teras bundar dan stupa-stupanya, tapi karena banyak bahan-bahan aslinya yang tidak dapat ditemukan lagi maka lebih dari separuh batuan 72 stupa bagian atas tersebut harus diganti dengan yang baru. Banyak stupa yang secara sistimatis dibongkar dan dirusak oleh para penjarah (looters) yang menggali sedalam 2 meter. Hasilnya benda-benda berharga yang disimpan didalam atau dibawahnya tidak dapat kita ketahui dengan jelas. 

Para pekerja perbaikan tersebut memang menemukan beberapa benda yang ditinggalkan para penjarah, tapi itu hanyalah benda-benda yang tak berguna banyak. Salah satunya adalah sebuah patung perunggu, tingginya 12 cm, sebuah patung Budha berdiri yang agak rusak keadaannya yang mungkin pernah dirusak dan kemudian diperbaiki. Stupa yang sama berisi 2 koin Cina dan 9 lagi ditemukan di stupa-stupa yang lain. Koin yang paling akhir berangka tahun 1403-1425. Angka  tahun tersebut juga tidak membuktikan apa-apa karena bisa saja koin-koin tersebut dibawa dari luar, tapi hal itu jelas menunjukkan bahwa kata “budur' dalam kitab Nagarakretagama abad ke-14 benar-benar menyatakan bahwa tempat itu masih dikenal.

Van Erp tidak memecahkan masalah mendasar yaitu kontrol air. Air curah hujan masih mengalir melalui retakan batu-batuan dan turun kebawah yang kemudian melalui relief-relief tersebut atau langsung turun ke pondasi terbawah. Relief-relief tersebut akhirnya terkikis (eroded) lebih parah dan bangunan tersebut pelan0pelan rusak didalam dan diluar. Dindingnya terus ambles dan miring (tilt) hingga akhirnya seluruh bangunan terancam runtuh. Kemudian dibentuk komite yang lain tahun 1929 untuk memonitor Borobudur, tapi karena adanya PD I dan PD II mengakibatkan pemerintah kolonial tidak dapat mengambil tindakan untuk mengatasi situasi kerusakan yang semakin serius tersebut.

INDONESIA MENGUMUMKAN KEMBALINYA BOROBUDUR

Tepat sekali bahwa Indonesia sendirilah yang akhirnya memperhatikan dan menyelamatkan candi Borobudur dari kerusakan nyata. Bahkan sebelum akhir masa Revolusi 1945-1949, pemerintah Indonesia mengambil Tindakan penyelamatan. Tahun 1948 pemerintah mengundang 2 orang pakar dari India untuk mengunjungi candi Borobudur dan membuat rekomendasi-rekomendasi konservasi. Tahun 1955 Indonesia mengundang UNESCO yang segera meresponnya dengan mengirim ahli dari Belgia untuk melakukan penelitian. Hingga tahun 1960, jelas terlihat bahwa harus segera diambil Tindakan penyelamatan karena kondisinya yang begitu parah. Pemerintah kemudian mengalo-kasikan dana untuk candi Borobudur tahun 1964, tapi kemudian usaha ini harus dihentikan (suspend) sementara karena adanya Kudeta PKI tahun 1965. Tahun 1969 proyek restorasi candi Borobudur masuk dalam bagian REPELITA-I dibawah pemerintahan baru Soeharto.

Dr. R. Soekmono, kepala Badan Arkeologi Indonesia, mengadakan konferensi tentang candi Borobudur tahun 1971 di Jawa Tengah. Karena inisiatif dan dedikasinya, kemudian dia diberi tugas dalam sebuah proyek restorasi candi Borobudur, Proyek ini melibatkan banyak para ahli dalam berbagai bidang baik dari Indonesia maupun luar negeri. Para ahli foto udara dan fotogrametry mengambil gambar keadaan sesungguhnya dari keseluruhan bangunan. Ahli meteorology, kimia, petrograph, mikrobiologi diajak untuk menyelamatkan batu-batuannya. Tak ketinggalan para ahli arsitektur, sipil, seismologi, fisika, dan mekanisme tanah dilibatkan dalam mempelajari bagaimana caranya untuk menjaga bangunan supaya tetapi berdiri dan kokoh. Para ahli arkeologi dan komputer diserahkan dalam beberapa penelitian dan masalah koordinat dalam proyek besar ini.

Dalam kurun waktu 10 tahun, sebagian besar bagian candi ditutup untuk masyarakat umum. Keutamaan (glory) candi Borobudur- berupa galeri-galeri yang dihiasi relief-relief - dibongkar total sehingga memberi kesempatan untuk menata kembali sistim drainase airnya. Plat-plat khusus dipasang diantara batu-batuannya ntuk mencegah rembesan (perlocate) air kebawah. Juga dipasang plat vertikal diantara batu-batuannya dibagian luar dan dalam. Dibuatkan pipa-pipa saluran air dan ditanam diantara batu-batuan tersebut untuk mengalirkan air dengan cepat dan aman dari bangunan candi. Dibuatkan pula dasaran yang besar dan kuat dibawah seluruh bangunan agar tahan terhadap goncangan (withstand) gempa bumi.

Secara keseluruhan, lebih dari 1 juta batu-batu candi dan seberat kira-kira 29.000 meter kubik harus dipindahkan. Semua batu-batu yang berserakan diluar sejumlah 170.000 dibersihkan, dirawat, dan. dikembali-kan ketempat asalnya. Dibuatkan juga sebuah laboratorium candi serta direncanakan juga sebuah Borobudur Center. Disampaikan bahwa proyek ini menelan dana sekitar 25 juta US$, dimana 6,5 juta dari bantuan asing dan sisanya dari pemerintah Indonesia sendiri. Presiden Soeharto sendiri akhirnya menyatakan peresmian kembali candi Borobudur tahun 1983. Diilhami (echoing) oleh penyair terkenal Indonesia Chairil Anwar, Soeharto mengharapkan candi Borobudur dapat hidup 1000 tahun lagi.


BOROBUDUR MASA KINI

Borobudur sekarang ini merupakan salah satu peninggalan bangunan kuno dunia yang terawat dengan baik - dan salah atau yang paling populer. Lebih dari 1 juta orang berkunjung setiap tahunnya, dan sebagian besar adalah orang Jawa beragama Islam. Banyak orang Jawa bangga akan candi Borobudur, meskipun mereka menganggapnya sebagai tempat yang cocok untuk berkreasi (outing spot) dan bukannya bangunan keagamaan. Walaupun demikian agama Budha adalah salah satu dari 5 agama yang diakui di Indonesia disamping Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu. Secara keseluruhan para penganut agama Hindu dan Budha berjumlah sekitar 3% dari total penduduk Indonesia.

Sesungguhnya ada beberapa bangunan suci keagamaan Budha di Jawa Tengah, termasuk candi Mendut yang hanya terletak beberapa kilometer dari candi Borobudur. Peringatan hari agama Waicak selalu dipusatkan di candi Borobudur selama bertahun-tahun. Tetapi ketika bangunan tersebut dibuka kembali tahun 1983, uacara Waicak dipindahkan pusatnya ke candi Mendut, juga selama berlangsungnya proses restorasi candi Borobudur. Sampai saat ini pemerintah melarang upacara-upacara umum diadakan di candi Borobudur walaupun masyarakat boleh datang untuk berdoa dan bermeditasi.


Sebuah artikel dari koran Nasional terbitan 2 Juni 1953 menggambarkan suasana serta memberi gambaran upacara peringatan Waicak yang diadakan di candi Borobudur ….

“Hari Waicak yang diperingati umat agama Budha di candi Borobudur dan Magelang 26-29 Mei sudah selesai. Upacara ini adalah yang terbesar yang diadakan sejak kemerdekaan bangsa Indonesia. Upacara ini diadakan oleh Yayasan Sam Kau, yang anggotanya terdiri dari para penganut agama Budha, Konfuse, dan Lao Tse. Sekitar 2000-an orang agama Budha dan mereka-mereka yang seiman (affiliated) merayakannya hingga menjadikan hari itu sebagai hari yang paling diberkati dan suci. Mereka yang datang bukan dari 1 golongan, ras, atau negara, juga termasuk banyak orang Jawa Tengah yang ikut menyaksikannya karena ingin tahu. Tetapi hal ini justru memberi nuansa ibadah.

Orang-orang mulai berkumpul di candi Borobudur sejak pagi hari sekali. Jam 11.50 dibunyikan genderang-genderang dari puncak Borobudur meminta orang-orang untuk melakukan semedi. Berpuluh-puluh orang meringsek menaiki tangga berusaha menuju bagian atas candi, sambil terdengar bunyi genderang-gendering tersebut yang semakin lama semakin keras bunyinya. Para panitia sibuk menyuruh orang-orang untuk tidak menaiki stupa karena ingin menyaksikan upacara agama Budha tersebut, tapi saying tidak dihiraukan.

Tepat jam 12.00. ketika matahari tepat pada puncaknya, adalah waktu yang tepat untuk bermeditasi. Stupa-stupa kecil terlihat muncul keatas dengan megahnya, kecuali yang paling besar ditengah yang pernah terkena petir dan sekarang sedang diperbaiki. Bayangan-bayangan stupa tersebut kemudian menjadi tempat teduh bagi mereka-mereka yang tidak tahan terhadap matahari. Para pengunjung juga diminta untuk ikut bermeditasi, tapi diminta dengan cara duduk bersila dan menghadap matahari. Selama 10 menit mereka bermeditasi memuja Budha sepenuh hati. Beberapa orang berlindung dibawah payung dan bersila diatas tikar, memakai kacamata hitam, tetapi semuanya tidak memakai alas kaki.”

Artikel lain menyebutkan .. “Sebelum upacara dimulai, diangkat sebuah kalung Budha dengan warna biru, kuning, merah, putih, dan oranye sambil dialunkan pujian-pujian (hymns) dan diiringi dengan bunyian gendang. Kemudian 3 orang gadis menyanyikan lagu Java Manggala Gita, dan diikuti oleh kotbah dan meditasi dalam suasana cinta dan damai. Kemudian dibuatkan bunga-bunga dan buah-buahan untuk persembahan. Persembahan ini adalah satu bagian terpenting dalam upacara Waicak. Bunga “astra” putih dan pisang emas, sawo, serta jeruk, disebarkan disekitar patung Budha ?”

Meskipun sebagian besar orang Jawa memeluk (profess) agama Islam tapi praktek-praktek keagamaan mereka cukup bervariasi. Beberapa orang cukup ortodoks dan mengikuti Al'quran, tapi banyak juga yang mempraktekkan agama Islam yang dipengaruhi oleh unsur-unsur yang banyak ditemui pada agama Budha dl candi Borobudur. Banyak orang Jawa tetapi melakukan tapa brata di gua-gua dan gunung untuk mendapatkan ketenangan batin (spiritual wisdom). Nabi Muhamad sendiri dikatakan juga bersemedi di goa sebelum menerima ilham atau wahyu dari Allah.

Bukit kapur disebut Bukit Menoreh yang terletak sekitar 3 km sebelah selatan candi Borobudur memiliki beberapa peninggalan arkeologis dan tempat-tempat untuk melakukan meditasi hingga saat ini. Sebuah sumber air disebut Sendangsono, hanya beberapa kilometer dari candi Borobudur, merupakan tempat suci bagi umat Kristiani dan sering didatangi sambil melakukan ziarah. Meskipun perselisihan antar agama sering muncul dan pergi dalam kurun waktu lebih dari 1.000 tahun setelah Borobudur didirikan, tapi kepribadian dasar agama Budha seperti toleransi dan respek dalam kehidupan tetapi dipegang teguh dalam budaya Jawa.


ARSITEKTUR & SIMBOL

Borobudur berdiri di atas bukit kecil lima belas meter di atas Dataran Kedu yang subur, dengan pemandangan persawahan hijau luas dan kebun kelapa yang dibatasi oleh pegunungan tinggi di semua sisi.  Prosesi agung kerucut gunung berapi menjulang ke ketinggian lebih dari 3.000 meter di utara dan selatan, deretan tebing batu kapur yang bergerigi berbaris melintasi cakrawala dengan ketinggian 1000 meter.

Badai tropis dengan 2 meter hujan di dataran setiap tahun.  Volume air yang sangat besar ini memberi makan sawah irigasi dan kebun produktif yang diletakkan berabad-abad yang lalu di atas tanah lembut dan dalam akibat pengaruh ribuan tahun letusan gunung berapi.  Air tidak  diserap oleh tanaman atau diuapkan oleh panas matahari mengalir ke dua ngarai berkelok-kelok yang dipotong oleh Sungai Elo dan Progo.  Keduanya bersatu tidak jauh ke tenggara Borobudur kemudian mengalir 45 kilometer ke selatan, di mana mereka bermuara ke Samudera Hindia yang bergolak.

Dataran Kedu terlindung dari dunia luar.  Ini tidak mengandung mineral berharga atau komoditas lain untuk menarik pedagang.  Satu-satunya jalur air keluar dari lembah mengarah ke pantai selatan yang dipenuhi ombak dan ganas, yang tidak memiliki pelabuhan dan tidak menghadap daratan kecuali Antartika yang jauh. Borobudur tidak ditempatkan di sini agar mudah dikunjungi oleh orang luar.  Dengan demikian, lanskap pada dasarnya adalah milik orang Jawa - sangat subur dan secara alami berfokus ke dalam dirinya sendiri.

Borobudur adalah monumen tiada duanya.  Terdiri dari serangkaian teras konsentris dengan ukuran menurun yang naik seperti langkah ke puncak pusat.  Tidak memiliki atap dan tidak ada ruang;  pasangan batanya diletakkan tanpa mortar.  Kesederhanaan bentuk dasar ini diimbangi dengan dekorasi yang luar biasa kaya dan kompleks.  Yang paling mencolok dari semuanya, mungkin, adalah keindahannya-relief, di semua 1460 panel batu berukir yang mencakup area total sekitar 1900 meter persegi, dengan ukiran dekoratif 100 meter persegi lainnya mengelilinginya.  Terletak di sekitar monumen adalah 504 patung buddha seukuran yang diukir dari batuan vulkanik padat, sementara banyak detail arsitektur lainnya tampaknya memenuhi setiap sudut dan celah yang tersedia.

Tahapan Peziarah

Orang Jawa Kuno Datang ke Borobudur sebagai peziarah-untuk mendaki bangunan suci berundak seperti gunung buatan manusia ini  dan mencapai puncak spiritual.  Borobudur menyediakan tempat di mana umat Buddha secara fisik dan spiritual dapat melewati sepuluh tahap perkembangan yang akan mengubah mereka menjadi Bodhisattva yang tercerahkan.  Transformasi ini adalah tujuan utama monumen, dan keduanya - desain keseluruhan serta cerita yang digambarkan pada relief Borobudur semuanya berhubungan dengan tema ini.

Peziarah yang berdiri di depan monumen untuk pertama kalinya pasti akan merasa kagum dan agak gentar dengan ukurannya yang menjulang tinggi , seperti yang kita lakukan hari ini.  Borobudur memiliki suasana yang terarah, seolah-olah siap melakukan sesuatu kepada kita jika kita menjelajah ke labirin tangganya-jalan, galeri, teras, dan patung.  Tidak ada dalam pengalaman masa lalu kita yang mempersiapkan kita untuk Apa yang akan datang ketika kita berkeliling monumen dan menyerah pada kekuatannya.

Bagian pertama dan terendah yang kita lihat hari ini adalah dasar persegi yang tidak didekorasi berukuran 113 meter di setiap sisinya, tetapi sebenarnya monumen ini dimaksudkan untuk dilihat.  Perancang bangunan ingin pengunjung melihat deretan 160 panel relief yang dipasang di sekitar pangkalan tepat di atas tanah, masing-masing berukuran 200 x 67 sentimeter dan menggambarkan pemandangan dari kitab Buddha tentang surga dan neraka yang dikenal sebagai Mahakarmavibanggha.  Dasarnya dihiasi dengan cetakan melengkung yang anggun dan beberapa tonjolan persegi.  Semua hiasan ini, termasuk panel berukir itu sendiri, harus dikorbankan ketika dasar asli monumen terbukti terlalu sempit untuk menopangnya dan runtuh.  Seluruh dasaran itu kemudian tertutup batu baru dan jauh lebih luas namun tanpa hiasan.  Dasaran asli dan dekorasinya (disebut "relief tersembunyi" baru ditemukan pada tahun 1885, dan sebagian dibiarkan terbuka di sudut tenggara monumen.  Di sini cetakan dan empat panel relief dapat dilihat.

Di tengah masing-masing dari empat sisi monumen, sebuah tangga lurus panjang mengarah dari tanah sampai ke teras paling atas dari struktur itu, sekitar 26 meter.  Langkah-langkah ke tingkat pertama dibagi menjadi tiga tangga pendek.  Di permukaan tanah di sebelah kanan dan kiri Tangga adalah patung binatang mitos yang disebut makara dengan singa di mulut mereka.  Pada akhir tangga pertama ini menjadi kepala monster yang lebih fantastis.  Sisi anak tangga kedua dimulai dari volutes dengan desain segitiga, motif umum dalam seni Jawa.


Di puncak anak tangga ini terdapat jalan setapak selebar 4-m  membentang di sekitar dasar monumen.  Peziarah kuno melakukan upacara keliling di sini, dan ditempatkan serangkaian ukiran yang terpasang di sepanjang dinding luar galeri di atas (yang oleh para arkeolog disebut langkan) dan terlihat jelas dari jalan setapak.  Ini menggambarkan makhluk surgawi dan setan penjaga, serta pohon permata vas, cangkang sofa, dan motif lainnya – semuanya melambangkan bahwa area di dalam dinding langkan paling bawah dilindungi dan suci.

Di atas langkan, masing-masing diatur ke dalam ceruknya sendiri, adalah patung Buddha berukuran tinggi 106 cm yang menatap tanpa ekspresi ke luar dari masing-masing empat sisi monumen.  Awalnya ada 104 patung seperti itu di tingkat pertama, diikuti oleh 104 lagi di tingkat kedua, 85 pada yang ketiga, 72 pada yang keempat, dan 54 di atas.  Sekarang banyak yang hilang.

Galeri-Galeri

Terdapat sebuah tangga 3 mengarah dari jalan setapak ke tingkat pertama, dengan galeri dinding batu berukir indah di kedua sisinya.  Meskipun pengunjung dapat memasuki galeri dari salah satu dari empat tangga utama, satu di setiap sisi monumen, peziarah kuno yang datang untuk mempelajari relief pertama-tama akan menggunakan tangga timur, karena di sinilah cerita yang diceritakan di panel relief dimulai.  .

Masing-masing dari empat tingkat bawah Borobudur berisi galeri berpanel seperti itu.  Empat jejak jalur persegi konsentris di sekitar monumen, masing-masing lebih kecil dari yang di bawahnya, sehingga jika dilihat dari atas mereka membentuk empat kotak konsentris.  Galeri pertama memiliki panjang 88 meter di setiap sisi, sehingga untuk berjalan di sekitar tingkat pertama melibatkan perjalanan sekitar 360 meter.  Galeri kedua berukuran lebih dari 320 meter di sekelilingnya;  yang ketiga 288 meter dan yang keempat 256 meter.  Jadi, rangkaian lengkap keempat galeri mencakup jarak sekitar 1,2 kilometer atau ¾ mil.

Galeri pertama berisi empat rangkaian relief - dua di dinding luar atau pagar langkan (satu di atas dan satu di bawah) dan dua di dinding dalam atau utama.  Untuk melihatnya secara berurutan pengunjung harus berjalan mengelilingi galeri pertama empat kali sebelum naik ke tingkat berikutnya.  Galeri kedua, ketiga, dan keempat masing-masing memiliki dua rangkaian relief, sehingga untuk melihat secara berurutan pengunjung harus berjalan mengelilingi setiap tingkat dua kali.  Untuk melihat semua relief dalam urutan yang benar, peziarah harus berjalan mengelilingi monumen sepuluh kali, menempuh jarak total hampir 5 kilometer (3 mil).

Galeri-galeri ini memberi pengunjung perasaan seperti berada di koridor yang lebarnya sekitar 2 meter, dengan tembok tinggi di kedua sisi dan hanya langit di atas.  Galeri tidak lurus, tetapi menelusuri empat tikungan sudut cahaya di setiap sisi.  Saat peziarah mengikuti relief, berjalan searah jarum jam dengan monumen selalu di kanan mereka (disebut pradaksina), perjalanan ini dihiasi belokan mendadak dan membuat seseorang tidak bisa melihat pemandangan koridor yang membentang lurus jauh.  Sebagian besar relief harus dilihat dari dekat, tidak lebih dari lebar galeri, meskipun relief di sudut-sudutnya dapat dilihat dari jauh.

Saat seseorang mendekati sudut, terlihat sebuah panel dengan ornamen segitiga yang disebut antefix.  Pancuran air yang ditempatkan di sini berbentuk seperti makara di tingkat paling bawah, tetapi di tingkat atas digunakan wajah seperti Kala.  Di atasnya terletak sebuah patung Buddha dalam ceruk, diapit oleh pilaster yang dimahkotai oleh sosok manusia yang disebut ganas yang mengangkat makara dengan tangannya.  Sebuah kepala Kala muncul di tengah atas lengkungan di atas patung buddha

Memasuki galeri pertama, kita langsung terjun ke dunia mitos.  Ratusan gambar muncul mengenakan kostum, berpose di tengah bangunan dan pepohonan, melakukan hal-hal yang tampaknya penting tetapi sulit untuk ditafsirkan. Adegan sering menggambarkan situasi tindakan yang agak tipis. Tanpa penjelasan lebih lanjut sepertinya susah untuk menguraikan apa maksudnya. Namun, efek dari pemandangan yang ramai ini tidak menakutkan. Wajahnya tenang dan kebanyakan cantik atau tampan;  mereka yang jelek atau menakutkan juga lucu atau rendah hati.

Pengaruh galeri pertama sangat besar karena memuat empat rangkaian relief-dua yang besar, satu di atas yang lain di dinding utama, dan dua yang lebih kecil di langkan.  Setiap adegan dibagi dari berikutnya oleh pilaster dekoratif dan scrollwork hiasan, masing-masing unik, dengan basis yang dibentuk oleh berbagai macam objek, orang, dan hewan.

Di atas tepi atas langkan luar, terlihat dinding belakang relung tempat arca Buddha duduk.  Pada langkan pertama dihiasi dengan motif & mahkota yang melambangkan permata, sedangkan relung pada galeri atas dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Relief-relief tersebut disusun sedemikian rupa sehingga ketika seseorang menaiki bangunan ini, cerita menjadi lebih rumit dan abstrak.  Kemajuan fisik ke atas dari peziarah itu sendiri merupakan kemajuan simbolis dari "dunia ilusi" ke salah satu wawasan dan pencerahan.

CERITA BINATANG & MORAL

2 cerita pada relief kecil di dinding kecil langkan galeri ke-1 menceritakan cerita-cerita populer agama Budha yang diambil dari Jataka dan Avadana yang menggambarkan inkarnasi mereka-mereka sebelum menjadi Budha. Relief bawah pada dinding candi juga berisi cerita-cerita Jataka dan Avadana. Semua ini adalah cerita hiburan, sama seperti cerita kancil, gajah, gli. Relief pada dinding langkan semuanya berjumlah 500 dengan ukuran yang berlainan.

CERITA TENTANG PERJALANAN HIDUP SAKYAMUNI

Rangkaian cerita bagian atas dinding candi pada galeri ke-1 nampak lebih abstrak. lni menceritakan perjalanan hidup Budha Gautama berdasarkan kitab La/itasvara. Cerita ini menunjukkan kepada para peziarah ekspresi-ekspresi rumit dari ajaran agama Budha. Ceritanya dimulai dari sisi selatan tangga di sisi timur berjumlah 120 panel berukuran 276 x 80 cm.

PENCARIAN (QUEST) KEBAHAGIAAN

Pada akhir galeri ke-1, para paziarah akan kembali ke tangga sisi timur dan kemudian naik ke galeri ke-2. Disini terdapat 2 seri relief. Pada dinding langkan dipahatkan lagi cerita Jataka dan Avadana dalam 100 panel. Pada dinding candi galeri ini berisi panel-panel cerita yang mungin mengacu sebagi ”Tema Utama" Borobudur yakni perjalanan Sudhana yang mengunjungi 110 guru dalam usahanya (endevour) menjadi seorang Bodhisatva, yang akhirnya diijinkan memasuki istana Maitreya dipuncak gunung Sumeru. Cerita tersebut, diambil dari kitab Gandavyuha, menempati 128 panel pada dinding candi. Kemudian diteruskan pada dinding utama galeri ke-3 dan dinding langkannya yang masing-masing 88 panel. Selanjutnya pada dinding langkan galeri ke-4 berjumlah 84 panel sebelum berakhir pada 72 panel pada dinding candinya. Dalam hal panjang dan isinya serta kebanggaan tempatnya, jelas terlihat bahwa ini adalah rangkaian relief monumen terpenting.

MEMASUKI LAUTAN KEABADIAN

Dalam design asli candi Borobudur hanya pada tingkat ke-3 dan ke-4 yang memiliki pintu masuk berukir indah yang dihiasi bidang lengkung diatasnya. Tapi pola demikian juga kemudian diberikan untuk tingkat ke-1 dan ke-2. Sebagian besar pintu masuk ini sudah hilang dan hanya tersisa beberapa yakni pada sisi timur yang menuju tingkat ke-4 dan yang memasuki teras bundar. Diatas bidang lengkungan pintu tersebut dipahatkan kepala Kala yang menakutkan. Ketika memasuki pintu tersebut, seseorang seolah-olah langsung menuju ke mulutnya karena dia tidak memiliki gigi. Pada galeri ke 4 yang menuju ke teras bundar justru diguyurkan bunga-bunga dari bibir atasnya dan pintu tersebut disampingnya dihiaskan Makara yang memandang keluar. Pintu-pintu tersebut berbeda pada masing-masing tingkat. Pintu pada tingkat ke-3 dihiasi burung beo atau kinara, yakni burung berkepala manusia, yang berada dibawah gigi taring Kala. Tetapi pintu terakhir yang menuju teras bundar pada bagian atas tingkat ke-4, burung kinara tersebut digantikan oleh resi yang berpose memberi bunga-bunga kepada orang-orang yang melewati pintu terakhir ini menuju lautan keabadian dibagian atasnya.

TERAS BUNDAR

Memasuki teras bundar dari tingkat ke-4. peziarah akan memasuki dunia yang berbeda. Tingkat bawah yang penuh hiasan, bentuk kotak-kotak, dan galeri tertutup digantikan oleh teras bentuk kurva sederhana dan terbuka yang memberikan pemandangan luas disetiap sisinya, memberikan perasaan kebebasan yang luas (spaciousness).

Berdiri diatas 3 tingkat teras bundar tersebut terdapat total 72 stupa, dengan perincian 32 stupa ditingkat bundar paling bawah, 24 pada tingkat bundar ke-2, dan 16 pada tingkat bundar paling atas. Stupa tersebut tidak utuh tunggal tetapi terdiri atas susun batu-batu yang disusun sedemikian rupa dengan seluruh permukaan luar atasnya ada lubang-lubang berbentuk diamond pada 2 tingkat pertama dan berbentuk kotak pada tingkat paling atas atau ke-3 bundar. Para pengunjung pada teras ini akan dapat melihat patung Budha seukuran manusia dalam stupa, namun tidak terlihat dari kejauhan kecuali stupa itu sendiri.

Stupa-stupa tersebut diameternya sekitar 3,5 meter dan tingginya 3,5 - 3,75 meter, anda atau bodinya berbentuk genta. Stupa tersebut diatasya terdapat kerucut (spire) yang berdiri diatas sebuah dasaran disebut “harmika” yang biasanya berisi relik-relik. Harmika ini berbentuk kotak pada 2 tingkat bundar terbawah dan berbentuk oktagonal pada tingkat bundar paling atas.

Stupa-stupa tersebut dulu kondisinya hancur akibat ulah para pencari harta karun dan mungkin menyimpan barang-barang berharga dibawahnya. Van Erp memperbaiki kembali stupa-stupa tersebut, tetapi hanya separuh batu yang dapat diteruskan kembali, sehingga terpaksa di membuat batu-batu pengganti. Pada bagian paling atas candi, tepat ditengahnya, berdirilah sebuah stupa besar berukuran diameter 16 meter dan dibatasi sebuah teras kecil mengelilinginya yang mungkin ditujukan untuk menempatkan sesajen atau persembahan.

MONUMEN DENGAN SEBUAH PESAN

Relief-relief candi Borobudur begitu cantik dan kaya sehingga mudah menjadi atribut dari pada yang lain. Seseorang akan berpendapat lain karena relief-relief tersebut sangat diperhatikan dan dibuat para ahli sehingga Nampak merupakan motivasi utama pendirian candi. Tetapi jika pendapat ini benar maka candi ini hanya terdiri atas rangkaian galeri dengan pahatan-pahatannya digantung seperti lukisan. Penelitian lebih lanjut menjelaskan lebih dari sekedar itu. Meskipun kita tidak tahu Mengapa orang Jawa membangun candi Borobudur, tujuan utama candi sepertinya terletak pada hubungan kompleks antara relief dan arsitektur, dan bukannya pada relief itu sendiri. Relief tersebut hanya merupakan salah satu komponen dalam design mahakarya dan juga agar dalam memahami candi Borobudur kita harus memecahkan persoalan arsitekturnya.

MENGURAIKAN KODENYA

Sesungguhnya kurang tepat menyebut Borobudur sebagai sebuah candi. Inskripsi-inskripsi kuno Jawa yang mengacu pada bangunan kuno sebagai prasadha dan terdiri dari beberapa katagori. Kita tak tahu bagaimana mereka membedakannya, tapi upacara-upacara dan simbol-simbol sangat berbeda antara prasadha-prasadha tersebut. Sebagian besar candi-candi Jawa kuno memilih sebuah ruangan untuk menyimpan obyek khusus suntuk disembah, tetapi ruangan tersebut ukurannya kecil sehingga hanya dapat dimasuki sedikit orang saja, mungkin hanya para pendeta. Bagi kaum awam (laiety) Indonesia kuno bangunan suci itu sendiri adalah ikon yang dipuja dan mengelilinginya tanpa memasukinya.

Candi Borobudur juga bangunan unik. Bangunan-bangunan agama Budha lainnya memiliki ruangan dan digunakan untuki menyimpan ikon-ikonnya. Design candi Borobudur juga berbeda dengan yang lain sehingga dapat disimpulkan tujuannya yang spesifik. Bangunan ini bukan ditujuan untuk pemujaan kepada para Budha, tetapi sebagai tempat untuk mencapai yakni menjadi Bodhisatva.

Borobudur menyiratkan pesan kompleks dalam pola tertentu yang belum terpecahkan, sebagian karena banyaknya unsur-unsur individu yang mebuatnya poal begitu luas. Mengapa ada 6 tingkat 4 persegi panjang dan 4 tingkat bundar ? Mengapa ruang Budha (niche) pada langkan tingkat bawah memiliki motif indah sedangkan pada 4 tingkat atasnya bermotif stupa ? Mengapa terdapat 72 stupa pada bagian atas yang terbagi atas 2 bentuk yakni pada 2 tingkat bundar bawah memiliki lubang-lubang berbentuk Diamond dengan harmika kotak, sedangkan pada tingkat bundar paling atas berbentuk kotak dengan harmika ektagonal ? Jelas semua itu memiliki makna tertentu Tapi apa ??

Variasi-variasi ini tak hanya banyak macamnya. Seperti relief-relief pada galeri, teras bundar bagian atas, arca-arca dan stupa-stupa, semua membentuk sebuah cerita (ta/e) tapi dalam bentuk abstrak sehingga hamper mustahil untuk mengetahui jalan mana dalam literature Budha yang luar biasa banyaknya cerita ini dimaksudkan. Selain itu jelas terlihat bahwa master plan candi Borobudurjuga berkaitan dengan konsep-konsep Jawa asli dan bukan dalam agama Budha semuanya sehingga kita tak pernah menemukan sumber-sumbernya.

Para ahli sejarah telah mencurahkan segenap tenaganya untuk mencari sebuah konsep tunggal yang dapat menjelaskan semua aspek-aspek candi Borobudur. Menurut satu teori bahwa teras-teras bundar merupakan dasaran dari sebuah stupa sangat besar yang menyimpan sebuah relik Budha Gautama sangat berharga. Beberapa pakar berpendapat bahwa candi Borobudur itu sendiri adalah sebuah stupa raksasa, karena bentuknya (profile) sendiri mulai dari kaki sampai bagian atasnya, merupakan gundukan (mound) tanah, gelembung, atau mangkuk terbaik yang merupakan bentuk umum dari sebuah stupa. Jika hal ini benar maka relief-reliefnya hanya merupakan hiasan dari dasaran stupa. Sulit untuk memahami/mengikuti ide ini.

Teori lain yang populer mengatakan bahwa candi Borobudur memiliki susunan triparti yang melambangkan 3 dunia Budha; Nafsu (desire), Bentuk (form), dan Tanpa Bentuk (formless). Tapi mungkin juga kurang tepat. Teori lain mengatakan bahwa candi Borobudur adalah sebuah mandala raksasa atau bangunan suci untuk keperluan-keperluan upacara inti. Sementara inputan-inputan lain menyebutkan bahwa diatas itu semua candi Borobudur adalah symbol keagungan (royal) dinasti Syailendra itu sendiri. Akhirnya untuk beberapa ahli, candi Borobudur melambangkan tempat tinggal para dewa yakni gunung Sumeru yang suci dan terletak dipusat kosmos.

Yang jelas bentuk arsitektur candi Borobudur memiliki beberapa kaitan dengan Jawa kuno - karena itu sulit menjelaskan Borobudur seacara menyeluruh. Design Borobudur tidak dapat dijelaskan dalam sebuah unsur tunggal, tapi merupakan gabungan 3 motif dasar yakni gunung, stupa, dan mandala. Meskipun masing-masing memiliki acuan sendiri, tapi simbolismenya saling mengisi. Para pendiri Borobudur secara gemilang berhasil menggabungkan ketiga unsur tersebut untuk menciptakan bangunan suci atau monumen utuh dan koheren.

Makna Borobudur sebaiknya dilihat dari kata-kata Jawa kuno itu sendiri. Karena manuskripnya belum ditemukan maka kita harus berusaha mencari bukti dari segala sumber yang ada. Seperti seorang ahli arkeologi, maka kita harus berusaha mengumpulkan bukti-bukti yang memungkinkan sebanyak mungkin, dan kemudian menggabungkan semua informasi yang ada untuk mendapatkan kembali gambaran semua design Borobudur. Namun demikian kita masih mendapatkan banyak bukti-bukti yang hilang.

SEJARAH ARSITEKTURNYA

Menurut legenda, Borobudur di design oleh seorang arsitek luar biasa bernama Gunadharma, yang orangnya dipercaya sekarang sedang tertidur disebelah selatan candi Borobudur dalam bentuk bukit Menoreh. Jauh dari kerja seorang designer tunggal, kenyataannya candi Borobudur dibangun dan diperbaharui (remodelled) 4 kali dalam 50 tahun.

Sekelompok atau penganut agama Hindu dalam masa pra-Hindu telah mendirikan sebuah bangunan besar diatas sebuah bukit Borobudur sebelum tempat itu dimiliki oleh para penganut agama Budha. Karena untuk bangunan awal ini para pekerja meratakan tanah disemua sisi bukit Borobudur dan memindahkannya keatas untuk membentuk dasaran luas (plateau) disekitar bagian puncaknya. Mereka kemudian mendirikan sebuah bangunan besar disekitar bagian puncaknya dari batu-batu bertingkat yang menjadi 3 tingkat dasar Borobudur dikemudian hari.

Kita tidak pernah tahu bangunan awal tersebut ditujukan untuk apa. Tapi para ahli arkeologi telah mendapatkan begitu banyak bangunan berundak 3 dibeberapa tempat di pulau Jawa, beberapa dihiasi dengan batu berhias dan tugu megalithik. Beberapa diantaranya dibangun pada masa pra-sejarah dan mungkin digunakan untuk upacara-upacara guna mendapatkan kekuatan supra-natural dari para leluhur. ersamaannya dengan bentuk modern, disebut punden, masih banyak ditemukan diatas bukit didesa-desa tua dan dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh-roh para leluhur atau pendiri desa. Upacara Bersih Desa selalu diadakan untuk mengusir (purge) roh-roh jahat dengan bantuan para leluhur.

Para pendiri pertama bangunan tersebut meninggalkan dasaran dengan bentuk yang tidak pernah ada pada bangunan suci baik Hindu maupun Budha, dalam periode selanjutnya. Bentuk Borobudur yang tak lazim tak lain karena juga untuk menyesuaikan dengan dasaran yang telah ada sebelumnya, sehingga kita bisa menganggap lebih bernuansa ke Jawa dari pada Hindu atau Budha. Kita tak pernah tahu apa yang dikehendaki para arsitektur sebelumnya karena mereka tidak pernah menyelesaikan pekerjaannya dan kemudian membangun kembali dengan penuh detail. Kita tidak pernah tahu kapan pembangunan awal tersebut, diperkirakan sekitar 760 - 770 M. Tak ada bukti bahwa para pembangun awal tersebut meninggalkan secara paksa (forcibly evicted) bukit tersebut sehingga tempat tersebu ditinggalkan untuk beberapa tahun sebelum para penganut Budha memilihnya untuk pekerjaan mahakaryanya.

Pembangunan dibukit itu diperkirakan sekitar tahun 780 M. Banyaknya sisa-sisa bangunan lama menunjukkan bahwa 5 tingkatan baru dibangun diatas bangunan asli tersebut. Pembuat dinding tambahan serta para pemahat mulai membuat relief-relief seperti yang kita lihat sekarang ini. Kemudian muncul bencana baru. Dasaran tersebut ternyata terlalu lemah untuk menopang beban berat keseluruhan candi dan beberapa bagian candi tiba-tiba ambruk.

Para designer sebenarnya bisa mengakali design awalnya dengan mengurangi berat bangunan tersebut, tapi mereka justru memilih memperlebar dasar candi. Konsekwensinya mereka harus mengorbankan seluruh rangkaian relief yang baru selesai dibuat pada dasar candi. Relief dasar tersebut kemudian ditutup dan beberapa bagian bahkan perlu dipotong agar batu-batu baru dapat dimasukkan dan dipasang dengan kuat. Hal ini menunjukkan bahwa bagian atas candi lebih berharga daripada bagian bawah walaupun bagian bawah yang disebut “Dasaran Tertutup - Hiden Foot” berhiaskan relief-relief yang indah. Dengan melebarkan bagian bawah tersebut, maka mereka menciptakan teras tinggi yang cukup luas mengelilingi candi. Hal ini sesuai (consistent) dengan pembangunan kembali bangunan-bangunan suci lainnya pada periode ini untuk membuat tempat bagi para peziarah dalam mengelilingi sebuah patung yang disimpan didalam bangunan atau candi tersebut.


Sebagian besar penelusuran kembali bangunan-bangunan agama Budha di Jawa Tengah tidak dapat dilanjutkan karena adanya renovasi besar-besaran terhadapnya sekitar tahun 800 M, sehingga sulit mendapatkan Kembali gambaran corak arsitektur awal agama Budha di Jawa. Sejarah arsitektur Borobudur yang tumbuh dalam kurun waktu 50 tahun sering berubah untuk menyesuaikan dengan ide-ide baru yang muncul dalam perkembangan agama Budha abad ke-8 dan ke-9. Pada waktu pembangunan Borobudur, agama Budha sedang mengalami masa transisi dan para penganutnya percaya bahwa agamanya sedang mengembangkan metode-metode baru dan lebih efektif dalam mencapai kebebasan spiritual. Mereka sedang mencoba praktek-praktek ritual khusus, diagram-diagram, dan bantuan-bantuan fisik lainnya agar mencapai Pencerahan. Beberapa aspek bentuk Borobudur dibangun khusus untuk praktek-praktek baru ini.

Karena itu terlalu naif untuk menemukan satu ide fundamental dalam menjelaskan semua aspek bentuk kompleksitas candi Borobudur. Bangunan tersebut memiliki banyak tingkatan pemahaman yang memuncak pada waktu hidupnya, karena itu melambangkan sebuah proses evolusi budaya daripada sebuah kurun waktu tertentu dalam sejarah Jawa. Salah satu sumber misteri dan keingintahuan sekitar bangunan ini berasal dari kenyataan bahwa para pembuatnya mempu menggabungkan semua perbedaaan-perbedaan yang banyak sekali tersebut menjadi sebuah kesatuan tunggal.

BOROBUDUR SEBAGAI SEBUAH GUNUNG

Pada pandangan pertama, candi Borobudur berbentuk tambun, tumpukan batu-batu berwarna abu-abu diatasnya, terdapat hiasan menjulang keatas, sebuah garis melintang rangkaian bukit Menoreh disisi selatan. Bayangan (silhouette) ini jelas untuk menekankan Borobudur sebagai sebuah gunung. Orang Jawa kuno sangat pandai sekali (weI-versed) dalam penggunaan perspektif untuk menekankan ketinggian sebuah bangunan, akan tetapi factor tehnis bersamaan dengan perubahan-perubahan selanjutnya mampu memberikan ide-ide penekanan sisi horizontal bangunan tersebut dan mengurangi kemiripan Borobudur dengan sebuah gunung.

Sisi bukit tempat berdirinya candi Borobudur dulunya berbentuk teras sehingga bangunan tersebut muncul sebagai kelanjutan bukit tadi dan mengakibatkan Borobudur nampak lebih tinggi dari penampilannya sekarang ini. Dasar candi dulunya setinggi 7 meter dari tanah. Dinding tambahan yang lebih besar dan berada pada dasar tersebut sekarang ini menghapus effek visual dari penampakan seperti lereng dari dasar candi tersebut.

Pada puncak stupa besar dulunya juga terdapat pilar tinggi yang sayangnya tidak dapat dibangun kembali karena banyak bagian-bagian yang hilang dan informasi tepatnya atas bentuk pilar tersebut. Puncak tersebut terdiri atas 8 dinding tinggi dengan 9 sabuk yang dikelilingi oleh 13 payung, yang memberikan kesan bentuk sebuah perhiasan segi 8. Jika corak ini masih dapat dilihat, maka Borobudur akan terlihat lebih tinggi dan ramping.

Gunung-gunung adalah symbol keagamaan penting di Jawa pra-Budha dan dalam konsep Budha Mahayana. Para Budha sering memilih puncak-puncak gunung untuk menyimpan benda-benda suci. Tradisi Jawa atas bangunan berundak suci keagamaan yang terletak didataran tinggi dimulai sejak jaman pra-sejarah hingga saat ini.

Kompleks percandian di Jawa seperti G. Wukir, Dieng, Gedong Songo semuanya dibangun ditempat cukup tinggi. Penjelasan-penjelasan bagian atas candi dibangun untuk mengacu pada gunung suci dan inskripsi-inskripsi Jawa kadang-kadang juga mengatakan demikian.

Candi Borobudur didirikan oleh keluarga raja dinasti Syailendra yang diterjemahkan sebagai “Penguasa Gunung”. Raja agama Budha yang pertama kali memerintah pembangunan Borobudur bernama Indra, karena merupakan dewa yang selalu bermukim diatas puncak gunung Sumeru dan muncul dalam relief-relief Borobudur. Teori yang mengatakan bahwa candi Borobudur melambangkan sebuah gunung diperkuat lagi dengan adanya sebuah tulisan dari kawasan Ratu Boko, terletak sebelah selatan Prambanan berangka tahun 792 M, yang menjelaskan bentuk sembahyang terhadap “para Budha yang sempurna diatas gunung Sumeru”, jelas menunjukkan bahwa para penganut agama Budha menyamakan gunung-gunung dengan kekuatan-kekuatan spiritual yang besar.

GUNUNG DALAM PANDANGAN BUDHA MAHAYANA

Para penganut agama Budha melihat alam raya ini sebagai sebuah sistim 3 dunia yang kompleks dengan gunung Sumeru yang agung terletak ditengahnya. Masing-masing dunia memiliki tingkatan sendiri yang tersusun secara hirarkis. Yang pertama adalah Kamadhatu atau Dunia Nafsu yang memiliki beberapa neraka didasarnya. Neraka-neraka ini dipahatkan pada beberapa relief “Relief Tersembunyi”. Diatasnya adalah tingkatan tempat para setan-setan yang lapar (“preda”) yang beberapa diantaranya hidup dari sisa-sisa makanan persembahan untuk para dewa-dewa, sementara yang lain adalah roh-roh jahat yang hidupnya dihutan. Roh-roh jahat tersebut dipahatkan dalam relief Jataka.

Susunan tingkatan makin keatas berikutnya adalah tingkatan didiami oleh binatang-binatang dan manusia dan yang terakhir terdiri atas 4 benua besar tersusun dalam sebuah samudra luas dan terpisah dari gunung Sumeru oleh 7 samudra dan 7 rangkaian gunung. Gunung-gunung sekitar Samudra tempat manusia hidup inilah terdiri atas besi, tetapi rangkaian pegunungan sisanya terdiri atas emas dan 6 samudra sisanya dipenuhi air segar.

Puncak gunung Sumeru didiami oleh 2 sorga dan 26 sorga lagi tersusun diatasnya hingga menjulang ke langit. 6 Sorga pertama termasuk Dunia Nafsu. Diatasnya lagi yang 18 sorga merupakan Dunia Bentuk (Form) - Rupadhatu yang didiami oleh para dewa yang telah bebas dari ikatan manusia dan nafsu tapi masih memiliki tubuh manusia. Mereka terus bersemedi hingga akhirnya Pikirannya suci dan menaiki 4 sorga diatasnya yang dianggap sebagai dunia tertinggi atau Tanpa Bentuk (Formless) - Arupadhatu. Disini semua makhluk hidup sudah terbebas dari pikiran-pikiran juga ujudnya karena kedua masalah tersebut sudah dapat dilewati (reconciled). Dunia ini disebut Nirvana dalam Budha Hinayana.

BOROBUDUR SEBAGAI GUNUNG SUMERU

Ketika mendekati Borobudur, para peziarah dapat melihat ratusan patung-patung laki-laki memandang keluar dengan damai disemua sisi candi. ini adalah perpaduan sempurna antara Jawa dan Budha. atung-patung dalam niche tersebut melambangkan orang-orang suci Jawa yaqg sedang bersemedi di goa-goa gunung Sumeru. Patungopatung tersebut menggambarkan, seperti para pendeta, bahwa para peziarah harus mempraktekkan Sikap pasrah (self-denial) dan mengatasi segla ketidaknyamanan fisik tubdh untuk mehcapai stupa utama yang agung dipuncak bangunan suci ini. Banguan candi Borobudur memaksa para peziarah melakukan 10 kali putaran sambal melihat seluruh rangkaian reliefnya dengan benar. Semuanya secara bertahap naik keatas sehingga secara simbolis napak tilas (retracing) langkah-langkah Bodhisatva yang telah mencapai pencerahan dengan sempurna setelah melewati 10 tingkatan keberadaan (existence).

Para pembuat Borobudur sengaja membuat pengaruh fisik langsung luar biasa bagi para pengunjung dikemudian hari. Ketika seseorang mengelilingi galeri-galeri yang dihiasi oleh relief-relief maka seseorang akan secara bertahap melupakan dunia luar. Tetapi ketika seseorang mengakhiri perjalanannya pada tingkat bundar pertama, tiba-tiba muncullah pemandangan luas sekitarnya yang luar biasa, memberi sensasi unik persaan lega (exhiIiration) yang mungkin sengaja ditujukan bagi mereka yang telah melewati perjalanan galeri-galeri dengan susah payah (tiring) dan mnengambil pelajaran spiritual dari cerita-cerita dalam relief-relief tersebut. Perasaan lega ini mungkin juga dimaksudkan sebagai simbol kebahagiaan pencerahan tertinggi yang dipercaya para penganut Budha dulu terletak disekitar puncak gunung.


BOROBUDUR SEBAGAI SEBUAH STUPA

Puncak Borobudur diberi mahkota sebuah stupa besaryang dikelilingi oleh 72 stupa kecil-kecil. Bentuk stupa sesungguhnya berasal dari India jaman pra-Budha sebagai sebuah tempat pemakaman yang diatasnya diberi sebuah pilar kayu yang melambangkan perpaduan antara sorga, dunia, dan dunia bawah tanah. Dipercaya Budha minta dimakamkan dibawah salah satu stupa. Setelah dikremasi abu jenasah Budah disemayamkan dalam 8 stupa terpisah yang berhubungan dengan kejadian-kejadian luar biasa selama perjalanan hidupnya.

Bentuk lain yang memiliki kemiripan adalah Caitya. Caitya ini juga periode pra-Budha India, tetapi berbeda dengan stupa karena roh-roh setempat termasuk pohon-pohon juga dipuja. Kadang-kadang benda-benda suci juga disimpan didekatnya. Dan ketika Budha mengambil alih tempat tersebut mereka dengan sengaja menggunakannya kembali untuk menyimpan abu jenasah tadi. Budha juga dipercaya pernah bersembahyang dibeberapa Caitya. Bahasa menganggap secara umum benda-benda peninggalan pra-Islam sebagai “candi”, sedang dalam bahasa Thailand disebut “cedi” yang mungkin juga berasal dari aitya.

Stupa ini bisa berfungsi tempat pemakaman atau berisi relik-relik berharga. Relik-relik tersebut bisa berupa sisa-sisa tubuh Budha, mangkuk atau jubahnya, replika tapiak kakinya, atau mungkin sesuatu bahan/materi berisi tulisan-tulisan suci. Stupa dapat dibangun untuk memperingati suatu kejadian khusus keagamaan, seperti mengajar ajaran-ajaran Budha atau sekedar mencari berkah keagamaan. …

STUPA DI INDONESIA

Di Jawa banyak ditemukan stupa-stupa. Candi Kalasan, dibangun didataran Prambanan sekitar 780 M, dulu dikelilingi oleh 52 stupa (angka magis menurut konsep Esoteris) yang berisi abu-abu jenasah manusia. Pada abad ke-9, dibangun stupa-stupa sejumlah 116 sekitar candi Plaosan. 2 stupa dibangun di Palgading, 7 km utara Jogja pada periode yang sama dengan candi Borobudur. Semua itu mungkin menyimpan benda-benda berharga atau juga abu-abu jenasah.

Stupa di Mulungan dan Cupuwatu (dekat Jogja) dan Tugurejo (dekat Semarang) terbuat dari batu utuh tanpa tempat-tempat untuk relik-relik. Beberapa stupa yang akhir-akhir ini ditemukan di sekitar Jawa Tengah termasuk dasaran dari minimal 2 stupa besar di Dawungari dan yang lebih kecil di Ratu Boko didataran Siwa disebelah selatan Prambanan. Tetapi para ahli arkeologi tidak dapat menetapikan apakah masing-masing stupa menyimpan relik.

Di Jawa Timur banyak didirikan stupa paska periode Borobudur. Candi Jawi yang didirikan untuk menghormati roh raja Kertanegara yang meninggal 1992 M, memiliki puncak berbentuk stupa. Sebuah stupa utuh ditemukan didesa Sumberawan dilereng gunung dekat ibukota Kertanegara. Candi Jabung yang didirikan 1354 M dulunya disebut Vajra Jina Paramitapiura yang harfiahnya berarti “Candi suci penakluk halilintar - (Thunderbolt Conquerer Perfection Temple)” juga memiliki puncak berbentuk stupa.

Beberapa stupa batuobata masih dapat ditemukan di Sumatra. Yi Jing melaporkan melihat banyak stupa di Sriwijaya, tapi saying hanya beberapa yang masrh ada. Tanda-tanda dari 2 stupa batu lebih kecil ditemukan di bukit Sanguntang dekat Palembang thun 1930-an, tapi sekarang sudah punah. Stupa tertua di Sumatra mungkin berasal dari abad ke-11 atau 12 dan termasuk stupa Maligai dan candi Bungsu dekat Mura Tikus propinsi Riau, juga beberapa di Padang Lawas (Sumatra Utara) seperti si Joreng Belongah, Si Pamutung. Stupa yang dipahatkan dalam 28 beberapa diantaranya memiliki penutup pelindun mata penutup pelindung tersebut mengacu pada status orang disimpan disana atau orang yang mensponsori pembuatannya.

Apakah stupa utama Borobudur menyimpan relik ?? Beberapa orang percaya demikian. Ketika pertama kali Borobudur dilihat sacara detail, pada Stupa utamanya terdapat 2 ruang bertumpukan atas dan bawah, tetapi tidak ditemukan relik-relik. Menurut cerita rumornya, Residen Belanda di Kedu yang mencuri emas dari ruang tersebut segera setelah Borobudur ditemukan Kembali dan mengganti dengan batu-batuan atau arca yang akan dibuang atau pecah. Tetapi rumor tersebut tidak dapat dibuktikan.

Beberapa orang percaya bahwa arca “Unfinished Budha” yang ditemukan dari ruang dalam stupa utama melambangkan Adhi-Budha dengan sikap tenang. Teori ini sekarang sudah ditolak. Beberapa ahli dari Tibet menganggap terlalu kekal (imperishable) untuk menghancurkan suatu benda suci, karena itu diletakkan didalam stupa. Sebuah baki perunggu, patung Avalokitesvara, keris dari besi juga ditemukan dari dalam ruang tersebut, tetapi semuanya tidak bernilai tinggi. 2 koin Cinajuga ditemukan disana. Mungkin Unfinished Budha tersebut hanya sebagai pelengkap ruang kosong tersebut bersama-sama dengan batu-batu pahatan dari tahap-tahap awal pembangunan Borobudur.

BOROBUDUR SEBAGAI SEBUAH MANDALA

Mandala digunakan dalam upacara untuk memulai orang mencapai tingkatan kekuatan spiritual lebih tinggi. Mandala berarti lingkaran. Tetapi dalam agama Budha kita tersebut mengacu pada sebuah diagram dengan gambar-gambar atau arca-arca dewa dalam posisi tertentu. Diagram tersebut tidak berupa lingkaran-lingkaran sederhana tetapi digabungkan dengan bentuk-bentuk termasuk kotak-kotak dan segitiga-segitiga. Mandala dapat diberi warna pada suatu permukaan datar atau dilukis ditanah dengan bubuk warna, meskipun dalam bentuknya aslinya mungkin berupa susunan 3 dimensi.

Variasi mandala yang ada di candi Borobudur banyak sekali, minimal terdapat 3.500 design yang dikenali. Layout Borobudur mirip sebuah diagram mandala dalam banyak hal, tetapi tak satupun yang berhasil mengidentifikasikan mandala yang mana. Seorang guru terkemuka yang mengunjungi Jawa abad ke-8 menuturkan penggunaan 2 mandala khusus disebut Dharmadhatu (Dunia Matrik) dan Vajradhatu (Dunia Berlian) yang keduanya kemudian menjadi terkenal.

Kitab Mahavairocana memberi petunjuk-petunjuk untuk menggambarkan mandala-mandala Dunia Matrik ditanah dengan menggunakan bubuk warna dalam sebuah ritual untuk meresmikan (initiate) seorang murid 4 dari tingkat master mencapai tingkatan lebih tinggi lagi. Pusat mandala dengan 3 dewa diwakili oleh Sakyamuni, Teratai dan vajra. Aslinya vajra berarti “halilintar” dan merupakan senjata dewa Indra. Meskipun Vajra selanjutnya juga berarti berlian atau diamond tetapi tetapi disimbolkan sebagai sebuah tongkat pendek dengan 1, 3 atau 5 mata tombak.

Mandala kuno berwarna versi Cina dan Jepang memiliki beberapa gambar melambangkan bagian-bagian seperti Borobudur. Baagian luar diagram tersebut adalah sebuah kotak mirip sebuah dinding yang ditutup oleh 4 pintu melengkung atas, yang masing-masing atas pintu dijaga sebuah wajah raksasa dengan kepala menakutkan dan gading gajah dibawahnya. Raksasa tersebut terkenal sebagai Krttimukha (wajah kemenangan) dan Kala (waktu). Mulut kala yang terbuka lebar (gasping) menelan (devour) rintangan-rintangan menuju pencerahan. Kepala menakutkan tersebut adalah Makara. Keduanya melambangkan Amn'ta atau kehidupan abadi/kekal. Dinding tersebut dijaga bermacam-macam makhluk yang banyak sekali, tetapi tidak disebutkan dalam Mahavairo-cana. Beberapa bentuk dipakai Vairocana untuk mengajar beberapa makhluk, sementara yang lain adalah dewa-dewa Hindu yang sudah memeluk agama Budha.

Mandala Dunia Berlian terbagi atas 3 mandala terpisah. Yang paling tengah dianggap sebagai puncak gunung Sumeru dimana pertama kali Vairocana menggambarkan Dunia Berlian. Petunjuk-petunjuk dalam menggambarkan Dunia Berlian terdapat dalam kitab Sutra Vajrasekhara atau Kitab Puncak Berlian. Hanya seni-seninya yang masih ada dalam sebuah terjemahan bahasa Jepang yang dibuat pada dinasti Song dari sebuah manuskrip lebih tua yang dibawa ke Cina dari Srilanka 742 M.

Vajrabodhi membawa kopinya dalam perjalan ke Cina tapi saying hilang dilaut ketika ada badai. Kemudian dia menterjemahkan bagian-bagian yang diingatnya dalam bahasa Cina. Budha Vairocana duduk tepat ditengah diagram dikelilingi 4 Budha dan 32 Bodhisatva. Bagian sisi luar diagram ditandai oleh 1.000 Budha dan 24 penjaga bagian tepi. Mandala Dunia Berlian - penekankan angka 5, dilambangkan oleh Budha, Vajra, Perhisan, Teratai, dan Darma.

MANDALA BOROBUDUR

Design Borobudur dalam banyak hal mirip sebuah mandala. Bantuk dan posisi diatas bukit mengacu pada menara megah diatas puncak gunung Sumeru. Patung-patung Budha dalam niche-niche yang memandang pada 4 arah mata angin mengacu pada 4 Budha yang mengelilingiAdhi-Budha dalam mandala Dunia Berlian. Sisi luar dinding langkan terbawah mengambarkan pakaian-pakaian besi atau persenjataan lengkap pra penjaga yang mirip dengan penjaga-penjaga dalam mandala Dunia Matrik. Kala dan Makara menjaga ke-4 pintu masuk ke bangunan ini.

Kitab yang berisi petunjuk-petunjuk untuk membuat mandala dimiliki oleh kaum (genre) Tantra. Urutan teks dalam galeri-galeri Borobudur sesuai dengan pembagian Tantra menjadi 4 tingkat, berdasarkan pada pemahaman bahwa pelajaran-pelajaran yang berbeda sesuai dengan orang-orang yang memiliki pencapaian tingkatan spiritual berbeda.

Konsep mandala sangat penting bagi Budha Jawa kuno, tapi saying tak ada petunjuk-petunjuk yang tersisisa untuk mengetahui mandala-mandala mana yang dipakai dan cara-cara apa konsep tersebut berkaitan dengan peranan simbol-simbol yang dimainkan oleh Borobudur. Pertanyaan “apakah Borobudur sebuah mandala ?” tergantung pada bagaimana seseorang mengartikan mandala itu sendiri. Untuk menganggap Borobudur sebagai sebuah mandala tak cukup dengan hanya mengatakan bahwa itu mirip mandala, tetapi kita harus dapat membuktikannya bahwa itu dulu pernah dipakai sebagai sebuah mandala.

Kita mungkin tidak pernah tahu upacara-upacara apa yang dilakukan di Borobudur, tapi begitu banyak detail-detail bangunan di Borobudur konsisten dengan konsep-konsep mandala sehingga kita bisa berasumsi bahwa Borobudur berfungsi banyak sebagi sebuah mandala. Mandala adalah sebuah ruang (space) yang dapat menolak kekuatan-kekuatan jahat, dimana para dewa diundang untuk ikut menghadiri atau duduk, dan mungkin juga pesertanya dapat dilantik ketingkat kesadaran lebih tinggi.

CANDI-CANDI MANDALA DI JAWA

Pada situs-situs arkeo-Iogi lain jelas terlihat bahwa setelah tahun 800 banyak bangunan-bangunan Budha yang di model lagi disesuaikan dengan prinsip-prinsip mandala, dan candi-candi baru dibangun khusus sebagai mandala.

Hal yang paling manentukan dalam teori tersebut adalah pada candi Sewu didataran Prambanan. Setelah pembangunannya tahun 800, candi Sewu terdiri atas sebuah pusat peribadatan dengan sebuah kamar yang dikelilingi oleh 4 kamar lebih kecil. Candi utamanya dikelilingi oleh tembok. Diluar tembok ini terdapat 240 lagi candi kecil-kecil yang diatur dalam 4 lajur dan dikelilingi dinding. Dasaran untuk 4 candi lagi terletak antara dasaran ke-3 dan ke-4.


Patung penjaga yang besar-besar dan dalam posisi jongkok berada di dasaran ke-4. Semua arca-arca dari candi utama sudah hilang, tapi ada ruang untuk arca diruang utama yakni untuk sebuah arca utama dan 6 yang lebih kecil dalam 4 ruang yang lebih kecil. Candi-candi perwara di luar masing-masing memiliki ruang-ruang untuk arca-arca.

Design ini diatur dalam sebuah ruang yang disusun menurut petunjuk sebuah konsep mandala. Candi-candi perwara 240 buah yang menyimpan arca mungkin melambangkan Budha berjumlah 1.000 dari versi diagram Dunia Berlian, dan bangunan utamanya mungkin melambangkan istana Adhi Budha dan keempat wujud alternatifnya yang masing-masing dengan pendampingnya seorang Bodhisatwa. Nama kompleks candi ini, “Sewu” berarti seribu, mungkin mengacu pada arca-arca yang menjaga bangunan utama dan bukannya pada jumlahnya candi perwara-nya seperti anggapan umum.

Beberapa bangunan suci lainnya didalam kompleks Prambanan mungkin mengikuti pola/design 2 bentuk mandala, termasuk bangunan utama di candi Plaosan dan candi Sari dekat Kalasan. Bagian atasnya terbuat dari kayu dan sekarang sudah musnah. Kedua candi tersebut mengikuti pola/layout 3 Budha seperti pada candi Mendut. Dibagian utara candi Plaosan terdapat sisa-sisa kelompok area yang membatasai sisi timur, sebagian utara dan sebelah selatan bangunan. Hal ini mirip dengan sebuah pola dari 33 arca yang ditempatkan pada sebuah mandala bujur sangkar di Tabo, India utara, yang dibangun 200 tahun setelah Plaosan.

Candi mendut hanya memiliki satu tingkat. Ruangannya yang cukup besar berisi 3 patung besar dan 4 ruang kecil (niche) untuk arca lebih kecil didindingnya. Hanya 1 dari ke-3 patung tersebut yang dapat diidentifikasikan yakni Bodhisatva Avalokitesvara yang berada disebelah utara. Kita tidak tahu diperuntukkan kepada siapa kedua sisa patung besar lainnya kecuali kita dapat memastikan mandala mana untuk candi Mendut.

Tipe-tipe bangunan yang lain yang diduga bernuansa sebuah mandala adalah cara penempatan simpanan (deposit) yang ditemukan dibawah candi di Jawa, Sumatra, dan Bali. Simpanan ini kadang-kadang diletakkan dalam sebuah batu dengan 9 lubang, atau dalam sebuah kotaktunggal seperti obyek dalam mandala Dunia Matrik. Simpanan tersebut terdiri atas beberapa obyek/benda seperti emas, batu permata, dan sisa organis. Simpanan ini disimpan disekitar bangunan untuk menjaganya dari pengaruh-pengaruh jahat sesuai dengan beberapa material yang disimpan dibawah tanah mandala seperti yang dijelaskan dalam kitab Mahavairocana. Di Nepal, 9 ruang dibangun didasar stupa pada abd ke-9. Kedelapannya ditempatkan benda-benda seperti kayu, benih, arca dan tulang-tulang manusia, sementara yang ke-9 dipakai untuk menguatkan dasar puncak stupa.


PATUNG-PATUNG BUDHA

Banyak para ahli ercaya bahwa 432 arca Budha di kelima dinding Rupadhatu berhubungan dengan 72 arca Budha ditingkat Arupadhatu (tingkat bundar) sebagai bagian dari sebuah kiasan (metapihor) tunggal. Arca-arca pada tingkat Rupadhtu yang masing-masing sisi berjumlah 92, mengacu pada Budha-Budha dengan sebuah mudra sesuai dengan banyak kitab Budha. Patung di sisi timur dengan sikap tangan kanan terletak diatas ujung kaki kanan yang bersila dengan telapak tangannya tertutup dan jari-jarinya kebawah mengacu

pada sikap Bhumisparca Mudra atau “mengunci dengan menyentuh bumi”. Hal ini melambangkan perlawanan Budha Gautama terhadap roh jahat Mara ketika dia memanggil Dewi Bumi untuk bersaksi atas banyak pengorbanannya. Patung-patung sepanjang sisi selatan melukiskan Vara Mudra, telapak tangan kanan terbuka keatas, melambangkan berkah (charity). Untuk sebelah barat menunjukkan sikap semedi, Dhyana Mudra, dengan kedua telapak tangan terbuka dan bersinggungan. Sedangkan yang sebelah utara dengan telapak kanan tegak dan mengarah keluar, Abhaya Mudra atau menolak bala. Pada semua sisi tingkat akhir Rupadhatu terdapat 64 arca Budha dalam posisi tangan ke-5, Vitarka Mudra, telapak tangan kanan terbuka dengan ibu jari dan telunjuk yang bersinggungan, melambangkan pengajaran (preaching)

Pada bagian bundar ketiga stupanya yang menglilingi stupa utama berisi pola ke-6 mudra yang melambangkan pengajaran dalam ajaran pertamanya disebut “memutar roda dunia”. Hal ini melambangkan pengajaran Budha atas proses pengorbanan dalam emosi. Para penganut agama Budha Mahayana percaya bahwa ajaran Budha pertama kali dari puncak gunung Sumeru ini memberikan bukti tambahan untuk mendukung teori bahwa Borobudur melambangkan sebuah gunung suci.

Gambaran ke-6 mudra, bukannya 5, menjadikan masalah bagi para peneliti. Menurut agama Budha Esoteris, Adhi Budha Vairocana (“Sinar Tak Pernah Redup”) didampingi oleh Budha-Budha sempurna yang lain. Banyak kitab-kitab hanya menulis 4 Budha sempurna yang masing-masing ditunjukkan dengan arah yang dilihat dan mudranya. Budha-Budha pada niche Borobudur bagian bawah sesuai dengan 4 Budha sempurna, Akhsobya (timur), Ratnasambwa (selatan), Amitabha (barat), dan Amoghapasa (utara). Vairocana sering diilustrasikan dalam sikap “memutar roda dunia / hukum” seperti Budha-budha dalam stupa-stupa tingkatan bundar.



Masalahnya adalah Budha dengan mudra Vitarka Mudra pada tingkatan akhir Rupadhatu. Beberapa juga berpendapat bahwa ini juga melambangkan Vairocana, tapi banyak para ahli tidak setuju apakah Vairocanajuga bermudra demikian pada periode ini. Lajur arca Budha ini tidak sesuai dengan suatu sistim mandala dan justru merupakan salah satu permasalahan dalam menentukan mandala mana yang dianutnya jika memang ada untuk Borobudur ini. Jika permasalahan langsung ini dapat dipecahkan, mungkin pertanyaan lain tentang candi ini dapat terjawab, hampir sama seperti ketika Maitreya itu sendiri menjentikkan jarinya dan segera saja membukakan semua pengetahuan.

PENGAJARAN DI GUNUNG ELANG

Ahli besar dari Perancis, Paul Mus, berpendapat bahwa jawaban permasalahan Budha atas tingkatan bundar mungkin terletak dalam Saddharmapundarika atau Lotus Sutra. Kitab ini sampai di Cina pada awal periode dan pertama kali diterjemahkan kedalam bahasa Cina tahun 255.  Muncullah Vajrapani, tapi dari catatan tersebut tidak jelas apakah dia melambangkan seorang dewa yang selanjutnya dikenal dengan nama tersebut atau dewa-dewa yang lain seperti Indra. Budha masih mengacu pada Sakyamuni. Lotus Sutra selanjutnya merupakan tingkatan awal dari Budha Mahayana. Tulisan tersebut menyebutkan dharani, nyanyian (chant) yang mistis, bukannya ke-5 Jina (penakluk) atau mandala yang merupakan ciri-ciri perkembangan Budha Esoteris.

Menurut Lotus Sutra, Sakyamuni bersemedi di gunung Elang dan kemudian mengajarkan murid-muridnya Mengapa dia menjelaskan tentang adanya 3 cara berbeda menuju pembebasan sementara dalam kenyataannya hanya ada 1. Pemunculan kontradiksi ini perlu karena akan menampung orang-orang dengan tingkatan berbeda atas pengalaman spiritualnya. Dia juga menjelaskan bahwa mereka yang berada di Nirvana sama dengan yang telah mencapai tingkatan ke-Budha-an.

Dalam masa itu munculah 7 stupa yang amat indah, muncul dari permukaan tanah dan menyeruak ke udara, dihiasi oleh benda-benda berharga. Terdiri oleh 5.000 sandaran (banisters), beribu-ribu gua (grotto) seperti ruangan, dan begitu banyak spanduk menghiasinya. Tasbih indah sekali disusun disana dan puluhan ribu juta genta ditorehkan dari puncaknya. Bau “talamapatrancadana” atau sejenis cendana (sandal wood) muncul dari permukaannya dan mengharumkan dunia. Spanduknya terbuat dari 7 perhiasan antara lain emas, perak, vaidurya (buah beri - berries), tutup kerang raksasa, batu-batuan, mutiara, dan came/ian. Sementara itu ketinggiannya mencapai tingkat istana raja bijaksana.

Stupa tersebut berisi seorang Budha yang dulunya mengajar Lotus Sutra yang kemudian mencapai Nirvana, tapi terus muncul ketika lotus Sutra diajarkan. Dia tidak terlihat pada stupanya dan Sakyamuni duduk bersebelahan dengannya. Sakyamuni menyapa (summouned) Budha dan Bodhisatva dari berbagai dunia yang tak terhitung jumlahnya yang sesungguhnya merupakan eliminasi/penjelmaan Sakyamuni itu sendiri, yang muncul dibawah jaring digantung dengan berbagai macam perhiasan. Dunia ini segera saja menjadi sorga. Kota-kota, lautan-lautan, gunung-gunung, dan hutan-hutan hilang seketika dan sebagai gantinya adalah jaring-jaring penuh hiasan dan dupa-dupa. Manusia harus dipindahkan kelain tempat karena dipakai oleh makhluk-makhluk suci ini. Masingmasing Budha dan Bodhisatva duduk dibawah pohon yang dihiasi dengan indah.

Karena letaknya masih jauh dari Sakyamuni dan mereka berharap bisa dekat dengannya, maka Sakyamuni menciptakan ruangan yang sangat lebar sehingga semuanya bisa dekat. Dia mengatakan bahwa dia segera memasuki Niravana sambil bertanya siapa yang mau mengajarkan Lotus Sutra setelah kepergiannya. Semua menyanggupi untuk mengajarkan kitab tersebut.

Maka didirikanlah sebuah stupa manakala kitab tersebut dia ajarkan. Tak ada benda berharga yang disimpan didalam stupa karena Budha sendiri yang akan hadir didalamnya. “Stupa ini bermandikan persembahan, sangat sederhana, berdiri diatas tempat yang damai, serta dipuja oleh berbagai macam bunga, dupa, kalung, spanduk sutra, dan pohon-pohon yang rindang, serta musik yang dimainkan dengan indahnya".

Lotus Sutra berisi unsur-unsur esoterik. Sakyamuni bersabda “kitab ini adalah rumah harta inti rahasia para Budha. Tidak bisa dibagikan tapi diberikan secara acak kepada manusia. Apa yang disimpan para Budha, mereka-mereka yang dipuja secara manusiawi, sejak jaman dulu tidak pernah dijelaskan dengan nyata". Nama Vairocana tidak ditemukan dalam kitab Lotus Sutra.

Kitab tersebut mencapai puncak dramatisnya ketika Bodhisatva Samantabadhra tiba di puncak gunung Elang. Dia juga seorang tokoh yang memainkan peran penting dalam menuntaskan panel-panel relief Borobudur. Dia selanjutnya berjanji untuk menjaga dan membantu siapa saja yang menyimpan kitab Lotus Sutra dengan muncul didepan siapa saja yang membaca dan mengumandangkannya, serta memberikannya dharanis.

BUDHA TAK TERLIHAT

Bagaimana arsitek Borobudur telah memberikan simbolisasi Lostus Sutra ?? Mus tidak pernah menyelesaikan studinya dan tidak memberikan alasan untuk mendukung teorinya bahwa teras bundar didesign untuk menggambarkan Lotus Sutra.

Seorang ahli lain juga membuat sebuah teori detail berdasarkan pendapat Mus. Menurut penafsirannya, teras bundar Borobudur melukiskan bagian dari kitab tersebut yang menggambarkan pemunculan stupa yang berisi tubuh Budha masa lalu. Stupa utama tak lain dan tak bukan adalah stupa yang dimaksud dengan “muncul dari tanah” dengan Budha masa lalu didalamnya. 72 patung Budha pada tingkat bundar adalah para Budha dan Bodhisatva yang sedang mengajar, dan stupa-stupa yang menjulang tinggi melambangkan mereka-mereka yang telah mencapai tingkatan Bodhisatva dan dapat melihat para Budha.

Stupa-stupa pada teras paling atas melambangkan dunia dan pada 2 teras bundar dibawahnya merupakan Budha-budha lain yang terlingkupi jaring-jaring perhiasan. Budha yang sedang mengajar pada dinding langkan paling atas melam-bangkan Sakyamuni itu sendiri. Dalam relief paling akhir yang melukiskan perjalanan hindup Sakyamuni pada level ke-1 (|A-120), dia terlihat sedang megajar ajaran pertamanya dengan sikap “Vitarka Mudra”, sikap mengajar seperti para Budha pada dinding langkan paling atas dan bukannya pada sikap Dharmacakra Mudra (mengajar ajaran pertama) seperti para Budha dalam stupa tingkat bundar yang menjulang tinggi.

Lotus Sutra jelas merupakan dasar ide dari design teras bundar. Stupa utama melambangkan Sakyamuni an Budha masa lalu yang meskipun sudah berada di Nirvana bisa muncul dalam bentuk tubuh manusia. Jika ini benar maka Borobudur juga merupakan tempat dimana para peziarah dapat melakukan kontak dengan para leluhurnya dan dipercaya masih dapat mempengaruhi kejadian-kejadian didunia. Sebuah konsep yang sangat popular dengan peranan bangunan berundak dalam alam pikiran Indonesia pra-sejarah.

Teras bundar bagian atas tanpa dinding langkan, tidak seperti teras kotak dibawahnya sehingga “terbuka ke udara” dan dapat melambangkan mereka-mereka yang merupakan penjelmaannya sendiri. Karena teras bundar dapat dilambangkan sebagai dunia yang sementara sedang berubah menjadi sorga dimana para Budha berkumpul. Wajah-wajah patung diteras bundar melihat keluar dan bukannya kedalam stupa utama, melambangkan bahwa mereka seolah-olah sedang mengajar sesuatu kepada kita seperti mereka janjikan dalam kitab Lotus Sutra

Disamping melambangkan gunung Sumeru, Borobudur mungkin juga menggambarkan Grdhrakuta yakni gunung Elang tempat Sakyamuni mengajarkan kitab tersebut. Pemunculan Samantabadhra dalam bab akhir sesuai dengan teras-teras bagian atas hingga relief-relief akhir dibagian bawahnya. lde kelanjutan antara 2 bagian candi tersebut menguatkan teori bahwa Borobudur adalah Lotus Sutra.

Tapi masih sulit untuk menjelaskan aspek-aspek teras bundar. Simbolisasi para arca Budha dalam stupa-stupa mungkin menggambarkan petunjuk bahwa stupa hanya dapat terlihat oleh mereka-mereka yang telah awakened atau sadar untuk mendirikan stupa dimana ajaran tersebut dilakukan. Namun ini tidak menjelaskan Mengapa terdapat tepat 72 stupa diteras bundar karena angka ini tidak memiliki arti apa-apa. Mengapa patung-patung tersebut dalam sikap mudra yang malambangkan pengajaran pertama dari pada mudra umum yang melukiskan pengajaran ? Mengapa teras-teras tersebut tidak bulat utuh tapi bentuknya seperti kotak yang ujungnya bulat ? Mengapa harm/kanya berbentuk beda ? Nampaknya Lotus Sutra tidak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini


TAMBAHAN :

A. PENINGGALAN-PENINGGALAN DATARAN KEDU

Banyak sekali peninggalan-peninggalan kuno ditemukan disekitar (vicinity) Borobudur. Terdapat sebuah rumah peristirahatan Belanda disebuah puncak bukit sebelah barat daya candi. Ketika bangunan itu dirobohkan pada jaman revolusi Indonesia, para ahli arkeologi dapat mempelajari situs tersebut, dan dalam kedalaman 1,5 – 2 m mereka menemukan beratus-ratus pecahan barang dari tanah (potsherds) dan ribuan paku perunggu, bentuk artifak yang sangat jarang ditemukan di Indonesia. Paku-paku tersebut tersebar dekat 2 dasar batu bata dan 17 dasar dari batu untuk pilar-pilar terbuat bambu. Dulu banyak didirikan gazebo-gazebo disekitar kawasan ini -- mungkin juga semacam pendopo.

Sebuah genta perunggu besar dan benda-benda dari perunggu yang lebih kecil juga ditemukan, begitu juga arca-arca kecil dan sejumlah ornament-ornamen dari emas abad ke-9. Yang terakhir termasuk 3 ornamen giwang dengan lambang semacam salib ditengahnya, 2 ornamen sejenis dengan bentuk terbuka tak simetris, dan sebuah cincin dengan sebuah tanda Dewi Sri pada bagian ovalnya. Ketika bagian barat bukit dicoba untuk diratakan tanahnya pada pemugaran terakhir ini, secara tak sengaja ditemukan 4 kendi keramik Cina dari periode dinasti Tang (618-906 M). Penemuan penting lainnya pada kedalaman 1,2 m adalah 2 batu gerenda, lingkaran dari perunggu, dan sebuah Vajra perungu yang merupakan simbol halilintar (thunderbo/t) yang digunakan dalam ritual-ritual agama Budha. Penggalian lebih lanjut tahun 1983 dibagian selatan dan barat kaki bukit candi Borobudur menemukan sejumlah bangunan (dari bata, batu, dan batu-batu kecil) dan perlatan dapur termasuk gerabah Jawa, sisa-sisa arang, gigi binatang, dan sisa-sisa tulang.

Tahun 1974, para ahli melakukan 285 test penggalian dekat barat laut bukit Borobudur. Mereka menemukan 14.000 pecahan barang dari tanah, jumlah penemuan terbesar yang pernah ada di Jawa periode ini. Beberapa gerabah terbuat dari tanah liat basah yang merupakan standard Indonesia. Benda-benda tersebut terbuat dari 12 macam obyek yang sebagian besar untuk keperluan sehari-hari - seperti mangkuk memasak dan penyimpan makanan, kendi air, loyang, vas, piring, lampu, bejana, dan lain-lain. Diantara benda-benda tersebut, hanya ada 6 bejana yang ditemukan utuh. Mungkin bukan ditujukan untuk keperluan sehari-hari tapi dikuburkan bersama dengan stupika dan lembaran nazar (votive tablet). Salah satunya berisi cangkir perunggu.

Sekitar 3 persen dari benda-benda tersebut adalah juga keramik Cina, dari periode dinasti Tang, sementara yang lainnya dari periode Song yang lebih muda (Abad 10-13). Seperti koin-koin, benda-benda ini menunjukkan bahwa para peziarah tetapi dating ke candi Borobudur setelah budaya keraton hilang dari Jawa Tengah. Penemuan-penemuan akhir-akhir ini tidak membantah (disprove) pendapat kuno bahwa kompleks para peziarah dulunya berada dibagian barat laut candi.

 

STUPA, STUPIKA, DAN LEMPENGAN-LEMPENGAN METAL

Banyak artifak keagamaan yang penting juga ditemukan dikawa-san candi Borobudur, termasuk patun-patung batu, sebuah lempengan bertulis dari perunggu, lempengan perak dengan sebaris inskripsi, 252 lempengan tanah liat bertulis, dan 2.307 stupika tanah liat. Stupika adalah miniatur stupa tingginya bervariasi antara 4 - 13,5 cm.

Stupa banyak sekali ditemukan dalam kawasan dengan alam agama Budha dan sering berisi benda-benda relik serta berharga. Beberapa stupa agung dibangun untuk menyimpan relik-relik yang dipercaya berasal dari sisa-sisa kremasi sang Budha Gautama sendiri. Vihara-vihara Budha sering merupakan hutan stupa yang menyimpan abu-abu jenasah pendeta Budha. Salah satu hutan stupa seperti itu di Jawa adalah kompleks candi Palosan dan Kalasan. Stupa-stupa tersebut umumnya berbentuk dasaran bulat, sebuah anda atau “tubuh” yang kadang-kadang bulat atau berbentuk genta, sebuah harmika atau kerucut dibagian paling atas dimana relik-relik disimpan, dan pelindung (sphre) yang sering dihiasi dengan payung. Beberapa stupika candi Borobudur dihiasi dengan rumusan/wejangan pendek agama Budha yang sudah tidak digunakan lagi setelah tahun 900 M. Stupa tersebut ditemukan dibeberapa tempat - di Jongke dekat Mlati, 7 km utara Yogyakarta, kalibening (Kalasan), Yogyakarta timur, Muncar di Banyuwangi Jawa Timur, Pejeng Bali, bekas keraton Sriwijaya dekat Palembang Sumatra Selatan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menemukan alat cetak dari perunggu tahun 1989 yang digunakan untuk memproduksi stupika corak Borobudur secara masal. Koleksi stupika penting lainnya juga ditemukan di Thailand Selatan dan Malaysia.

Kita tidak pernah tahu bagaimana penggunaan stupika atau votive tablets di Indonesia, tapi kita tahu penggunaanya dibeberapa tempat lain. Di Thailand, stupika kadang-kadang dibuat dari campuran tanah liat dengan sisa-sisa kremasi abu jenasah pendeta terkenal (pious). Pendeta Tibet membuat “amulets” dari tanah liat (“tsha-tsha”) dengan bentuk stempel stupika, dewa-dewa, atau “tablets” melalui rumusan/cara Budha.

B. UNTUK KELOMPOK ELIT ATAU ORANG AWAM

Salah satu kontroversi sekitar masalah Borobudur adalah bangunan suci tersebut terbuka bagi semua orang, atau apakah hanya orang-orang tertentu yang berhak memasuki galeri-galerinya. Beberapa ahli berpendapat bahwa Borobudur ditujukan untuk mengajak masyarakat luas dengan ajaran-ajaran agama Budha, ada juga yang berpendapat bahwa hanya orang-orang terpilih dari kerajaan tersebut yang diijinkan berdiri diatas tingkatan bundar bagian atas candi dimana roh-roh para leluhur dan dewa-dewa tertinggi akan turun menampakkan diri dengan kesahajaannya.

Kitab “Lotus Sutra”, salah satu kitab tertua agama Budha yang diajarkan diluar lndia, mengajarkan bahwa tidak semua makhluk hidup mampu menerima ajaran tertinggi. Tetapi, pendapat bahwa para penganut agama Budha harus dibagi dalam beberapa kelompok, yang masing-masing dengan bentuk pemujaan dan ritualnya sendiri, tidak berlaku dikemudian hari ketika praktek-praktek tantra memperoleh pengaruh sangat luas.

Borobudur dibangun tepat ketika pemisahan diantara para penganut agama Budha sangat kuat dan kencang. Selama setengah abad atau lebih, ketika Borobudur sedang dibangun, praktek-praktek ritual para penguasa berkembang berbeda jauh dengan milik masyarakat awam. Permasalahan kita adalah untuk menemukan apakah memang perbedaan tersebut memang ada ketika candi Borobudur didirikan, dan apakah bentuk (shape) Borobudur sebagai hasil dari kebutuhan atas kerahasiaan dan untuk memisahkan yang tidak dimaksud (uninitiated).

KITAB-KITAB DAN ARSITEKTUR TANTRA

Beberapa bagian dari Borobudur, seperti dinding langkan dan pintu gerbang, bisa menggambarkan tingkatan dalam hirarki keagamaan, dan bisa juga berfungsi sebagai kontrol akses ke tingkat yang lebih tinggi. Mungkin seseorang harus disucikan (inititated) ketingkat yang lebih tinggi untuk dapat menaiki tingkat yang lebih tinggi. Teks-teks yang ditemukan dalam Dasaran Tertutup dan tingkat ke-1 candi Borobudur Mahakarmawibhangga, Jataka, Avadana, dan Lalitasvara) tidak ada kaitannya dengan ajaran tantra, tapi dalam teks yang paling penting di Borobudur (Gandavyuha) adalah bagian dari Avatamsaka Sutra yang merupakan teks fundamental ajaran tantra di tingkat ke-3.

Dalam tingkat ke-3 tersebut, Sang Adi Budha (Supreme Budha), disebut Vairocana, didampingi oleh 4 Jina Budha. Mandala yang digunakan dalam tingkatan ke-3 tersebut juga diatur dalam sebuah pola yang sesuai dengan arca-arca Borobudur. Banyak para ahli berpendapat bahwa arca-arca Budha dicandi Mendut, dekat Borobudur, melambangkan triniti dari mandala Vajradhatu, juga merupakan milik tantra tingkatan ke-3. Mandala ini sangat berpengaruh dikalangan elit Budha Jawa sekitar abad ke-10. Semua bukti-bukti ini menunjukkan bahwa Borobudur didirikan bagi para pemuja tantra tingkatan ke-3. Jika teori ini benar, maka mereka-mereka yang belum memiliki tingkatan ke-3 belum diijinkan untuk mengunjungi bangunan suci ini. Tetapi ada data lain yang meragukan pendapat ini. Patung-patung Budha Borobudur meliputi 6 bentuk (arca-arca dalam Vitarka mudra pada langkan ke-5) yang tidak ditemukan dalam tantra tingatan ke-3. Beberapa ahli justru berpendapat bahwa inilah Vajradhara, yang ditemukan dalam tantra tingkat ke-4, tapi sayang hanya beberapa yang sependapat dalam hal ini.

Mendut mungkin disebut (dengan nama Venuvana) dalam sebuah prasasti Karangtengah yang menggunakan terminology tantra ke-2 dan bukannya tantra ke-3. Arca-arca perunggu Jawa kuno melambangkan dewa-dewa dari beberapa tingkatan berbeda praktek-praktek tantra. Sang Hyang Kamahayanikan menggabungkan ide-ide dari 2 sumber, satu dari tantra tingkat ke-2 dan satunya dari tantra tingkat ke-3. Kitab kuno Sang Hyang Nagabaya Sutra dari Bali juga menggabungkan tantra tingkatan ke-3 dan ke-4.

Mungkin juga ada sistim lain. Beberapa arca perunggu kuno Jawa diidentifikasikan sebagai Samantabhadra. Di Tibet Samantabhadra kadang-kadang juga dianggap sebagai Adi Budha. Pada bagian akhir relief candi Borobudur digambarkan “Sumpah Suci Samantabhadra - Great Vow of Samantabhadra” dimana dia disana sangat dihormati.

Karena itu jelas terlihat bahwa jarak keagamaan yang kuat antara orang-orang yang berbeda status masih belum muncul atau paling tidak terlihat dengan jelas pada waktu candi Borobudur didirikan. Tangga yang langsung menuju puncak candi, tidak adanya halangan seperti pintu, dan arsitektur Borobudur yang terbuka langsung ke udara, nampaknya mengarahkan orang-orang untuk berusaha naik ke atas. Beberapa upacara-upacara tertentu mungkin dilaksanakan pada candi Borobudur, yang mungkin dianggap sebagai pencapaian kekuatan spiritual yang lebih besar, tetapi tak ada alasan untuk membayangkan bahwa bangunan suci tersebut tertutup bagi semua orang, atau ritual-ritual rahasia tingkat tinggi diadakan oleh para elit pada tingkatan paling atas.

C. KITAB-KITAB BUDHA JAWA KUNO

Pusat-pusat pendidikan agama Budha di Jawa dan Sumatra pasti memiliki perpustakaan yang besar, tapi catatan-catatan yang ada terdiri atas daun palem dan bahan-bahan lain yang cepat rusak sehingga tak ada yang tersisa. Kita hanya bisa menduga keberadaan mereka melalui beberapa inskripsi yang dapat bertahan lebih lama dan beberapa manuskrip agama Budha yang dibuat di Jawa jauh setelah Borobudur didirikan. Teks tertua agama Budha di Indonesia adalah sebuah inskripsi yang dipahatkan dalam 11 lempengan persegi panjang terbuat dari emas. Tak diketahui aslinya ditemukan dimana karena ketika pertama ditemukan setelah PD II letaknya berada di Museum Nasional Jakarta.

Corak tulisannya menunjukkan bahwa lempengan-lempengan tersebut merupakan tiruan dari versi yang lebih awal sekitar tahun 650 - 800. Teks tersebut diambil dari sebuah prasasti yang tiba di Jawa abad ke-5, mungkin dibawa oleh Pangeran Gunawarman dari Kashmir. Ditulis dalam Bahasa Sansekerta, dan sengaja dibuat sederhana dengan membuang susunan tata bahasa yang rumit. Dengan demikian nampak sengaja ditujukan (devised) untuk orang-orang awam dan bukannya kepada para pendeta atau ahli-ahli khusus keagamaan. Delapan lempengan ditulis pada 2 sisinya dengan kata-kata dari perjanjian (treatise) Budha terkenal yang menjelaskan 12 hal penyebab penderitaan dan kaitannya dengan perjanjian tersebut. Disimpulkan bahwa jika salah satu penyebab kesengsaraan tersebut dapat dihilangkan, maka ikatannya akan patah dan sisanya akan dengan sendirinya musnah.

PRASASTI-PRASASTI PERIODE BOROBUDUR

Para ahli sejarah menemukan hanya ada 2 dokumen yang ditemukan yang diciptakan pada waktu Borobudur masih “aktif”. Sebuah inskripsi berangka tahun 824 mengatakan bahwa terdapat sebuah bangunan suci yang didirikan oleh raja Samaratungga. Inskripsinya sudah rusak, tapi kata-katanya mengacu pada sebuah bangunan yang terbagi atas 10 bagian. Jumlah 10 melambangkan tingkatan dimana seorang Bodhisatwa harus dapat melewatinya untuk menjadi seorang Budha. 10 putaran yang dilakukan para peziarah sambil mempelajari relief-relief pada galeri-galeri Borobudur menunjukkan bahwa para pembuat candi terkait dengan simbolisasi ini. Inskripsi ke-2 mencatat sebuah kejadian tahun 842 ketika seorang ratu Kahulunan mengalokasi-kan pendapatan dari sebuah desa untuk mendukung sebuah bangunan suci keagamaan yang disebut Bhumisambhara atau “Akumulasi suci dalam (10) tingkatan”. Sebuah teori menyatakan bahwa nama lengkap dari bangunan tersebut, tidak disebutkan dalam inskripsi tersebut, mendapat tambahan kata “bhudhara” yang berarti gunung. Nama Boro-budur mungkin berasal dari kata “bhumisambhara (bhudhdara)”. Tetapi kita tidak yakin apakah kedua inskripsi ini mengacu pada candi Borobudur. Para ahli sudah berusaha sekuat tenaga untuk menggali semua potensi informasi dari sumber-sumber lain yang dapat memberikan petunjuk atau ide-ide inspirasi pembangunan Borobudur.

SETELAH PEMBANGUNAN BOROBUDUR

Teks agama Budha tertua selanjutnya adalah Sang Hyang Kamahayanikan. Teks tersebut ditulis antara tahun 925 - 950 dan terdiri atas 42 paragraph dalam bahasa Sansekerta dan komentar-komentar dalama bahasa Jawa. Penulisnya nyata sekali mengambil dari teks Mahavairocana, yang mungkin sekali terdapat dalam kepusatakaan-kepustakaan tunggal di Jawa dan Sumatra selama kurun waktu abad ke-9. Tulisan tersebut menceritakan tentang dewa yang disebut Vairocana, arti harfiahnya “Cahaya Universal”. Vairocana sesungguhnya nama alternatif sang Budha, meskipun Budha Estorik selanjutnya percaya bahwa Budha hanyalah merupakan penjelmaan fisik Vairocana, karena digunakan oleh mereka-mereka yang memiliki pengetahuan rendah dan memerlukan tokoh-tokoh nyata untuk membantunya mencapai pembebasan.

Mahavairocana ditujukan bagi mereka-mereka yang percaya akan kegunaan pertolongan spiritual seperti bentuk mandala dan tantra. Tulisan tersebut kemudian menjadi terkenal di Jawa Tengah hingga abad ke-9. Namun masih sulit untuk mengaitkan antara teks tersebut dengan para pendiri Borobudur. Pada suatu masa, dipercaya bahwa Sang Hyang Kamahayanikan adalah petunjuk yang dianut oleh para pembangun Borobudur, tapi sekarang terlihat bahwa symbol-simbol dalam candi ini menyimpang dari doktrin-doktrin yang tertuang pada tulisan tersebut dalam beberapa aspek pentingnya, sehingga mungkin tidak memberikan kunci langsung terhadap design Borobudur. Hal pokok lain adalah bahwa tulisan tersebut ditulis 75 tahun setelah pendirian candi Borobudur.


Comments